> >

Kejati Jakarta Selidiki Skandal Proyek Technopark 1,2 T, Dirut Hutama Karya Beberkan Kronologinya

Hukum | 13 September 2024, 06:20 WIB
Petugas Kejaksaan RI saat melakukan penggeledahan terkait perkara skandal dugaan korupsi proyek Technopark yang digarap PT Hutama Karya, (Persero) tahun 2018-2020 dengan melibatkan sejumlah pihak (Sumber: Kejaksaan Agung (Kejagung) Republik Indonesia)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Petugas Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta (Kejati DKJ) menggeledah sejumlah tempat terkait kasus skandal dugaan korupsi proyek Technopark yang digarap PT Hutama Karya (Persero) tahun 2018-2020.

Usai penggeledahan yang dilakukan beberapa waktu lalu itu, Direktur Utama (Dirut) PT Hutama Karya (Persero), Budi Harto membeberkan kronologi kasus dugaan korupsi Technopark yang berpotensi merugikan negara Rp1,2 triliun.

Baca Juga: Daftar 16 BUMN yang Dapat PMN Rp44,24 Triliun, Hutama Karya Terbesar, ASABRI Nomor 2

Menurut Budi Harto, pada 2018 pihaknya mendapat penawaran kerja sama dari PT Cempaka Surya Kencana (CSK), PT Azbindo Nusantara (Azbindo) dan Aziz Mochdar (AM) berupa pengembangan tanah milik PT CSK di Jalan Gatot Subroto seluas 5 hektare untuk dijadikan proyek Technopark.

Namun, seiring berjalannya waktu, skema transaksi tersebut berubah ketika anak usaha Hutama Karya, PT HK Realtindo (HKR) mengakuisisi 55 persen saham milik Azbindo di PT CSK.

HKR bahkan telah membayar uang komitmen awal senilai Rp200 miliar, sebagai syarat due dilligence (uji tuntas) atas objek saham tersebut.

"Setelah melalui beberapa kesepakatan awal, para pihak menyepakati Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) dan Berita Acara Kesepakatan (BAK) akuisisi pada tanggal 2 - 3 Desember 2019 untuk pengambilalihan objek saham senilai Rp2,2 triliun," jelas Budi Harto melalui keterangan resminya di Jakarta, Kamis (12/9/2024).

Pembayaran saham sebesar Rp2,2 triliun tersebut rencananya dilakukan dengan konversi uang komitmen awal senilai Rp200 miliar, dan sisanya sebesar Rp2 triliun akan dibayar dengan Akta Pengakuan Utang.

Pada 21 Februari 2020, lanjut dia, dilakukan penadatanganan Akta RUPS, Akta Jual Beli, Akta Pengakuan Utang Rp2 triliun, dan Akta Gadai Atas Objek Saham untuk menjamin pembayaran utang Rp2 triliun dari HKR kepada Azbindo. 

Selanjutnya, PT CSK meminjam dana Rp1 triliun kepada HKR untuk pelaksanaan kerja sama proyek Technopark itu dengan jaminan dua surat tanah, yakni SHGB No. 122/Kuningan Barat seluas 17.910 m2 dan SHGB No. 335/Kuningan Barat seluas 146 m2.

Ia menambahkan, saat proyek itu belum terealisasi, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah mengeluarkan Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) yang menyimpulkan adanya penyimpangan tata kelola perusahaan dalam transaksi pengambilalihan objek saham, salah satunya karena objek tanah bermasalah hukum.

"BPKP telah mengeluarkan LHAI dengan kesimpulan terdapat penyimpangan GCG dalam transaksi pengambilalihan objek saham, salah satunya karena objek tanah tidak clean and clear," urainya.

Akibatnya, PT HK Realtindo (HKR) tidak melunasi harga saham sebesar Rp2 triliun.

Penghentian sepihak ini lantas memicu gugatan terhadap Hutama Karya dan anak usahanya HKR di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.

"CSK, Azbindo dan Aziz Mochdar menggugat HK-HKR di PN Jaktim untuk membatalkan transaksi dengan dalil bahwa HK-HKR telah melakukan tipu daya dengan melakukan pengambilalihan objek saham menggunakan promissory note, di satu sisi Akta Jual Beli menuliskan harga saham telah dibayar lunas," bebernya.

Baca Juga: Kejari Jaksel soal Kasus Kebakaran Gedung Cyber 1 Jakarta yang SP3: SPDP Tak Pernah Kami Terima

Sementara, HK-HKR juga mengajukan gugatan rekonvensi untuk membatalkan transaksi, dengan alasan adanya tipu daya dari PT CSK, Azbindo dan AM.

Pihak HK-HKR sekaligus meminta pengembalian atas penyertaan saham sebesar Rp200 miliar dan pinjaman sebesar Rp1 triliun.

Dalam putusannya, lanjut Budi, hakim PN Jaktim mengabulkan seluruh permohonan para penggugat (PT CSK, Azbindo dan Aziz Mochdar) dalam permohonan provisi, kecuali permohonan angka 7 mengenai uang paksa (dwangsom).

"Pengadilan Negeri Jakarta Timur menyatakan PT Hutama Karya (Persero) dan PT HK Realtindo melakukan Perbuatan Melawan Hukum,” katanya.

Pengadilan juga menghukum PT Hutama Karya (Persero) dan PT HK Realtindo membayar ganti rugi meteriil sebesar Rp8,346 triliun secara tanggung renteng.  

Hakim juga menghukum HK-HKR membayar ganti rugi imateril senilai Rp3,125 triliun.

Dengan putusan tersebut, maka PT Hutama Karya (Persero) berpotensi memiliki kewajiban pembayaran sebesar Rp11,471 triliun, jika putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

Budi Harto menyebut, pihaknya berencana mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur itu.

"Kami menghormati putusan pengadilan, namun kami perlu untuk melakukan banding agar seluruh fakta dapat dipertimbangkan lebih lanjut," ujar Budi Harto dalam keterangannya di keterbukaan informasi di laman IDX.

Atas perkara itulah Kejaksaan Tinggi (Kejati) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) kemudian melakukan penggeledahan di tiga lokasi berbeda.

Ketiganya adalah Gedung Cyber 1 lantai 11, Kuningan Barat, Mampang, Jakarta Selatan.

Kemudian, satu rumah di Perumahan Bukit Cinere Indah Kota Depok, dan sebuah rumah di Jalan Gebang Sari Kecamatan Cipayung Jakarta Timur.

Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Daerah Khusus Jakarta, Syahron Hasibuan kepada wartawan menyebut, pihaknya tengah melakukan penyelidikan pada perkara itu.

“Penyidik bidang Pidana Khusus Kejati DKJ Tengah melakukan penyelidikan terhadap penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pembiayaan Proyek Pengembangan Tanah Technopark oleh PT Hutama Karya (Persero) pada tahun 2018 s/d 2020 senilai Rp1,2 triliun,” ujar Syahron Hasibuan, usai penggeledahan tersebut kepada awak media, Senin (9/9/2024).

Ia juga mengatakan, dari penggeledahan di tiga tempat itu, penyidik menyita beberapa unit Laptop, PC untuk dilakukan analisis forensik.

”Turut disita beberapa dokumen dan berkas penting lainnya guna membuat terang peristiwa pidana dan penyempurnaan alat bukti dalam perkara a quo,” jelas Syahron Hasibuan.

Syahron menegaskan, penggeledahan dilakukan sebagaimana Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Tinggi Daerah Khusus Jakarta Nomor PRINT- 3521/M.1/Fd.1/08/2024 Tanggal 28 Agustus 2024.

Baca Juga: Update Kasus Kebakaran Gedung Cyber 1: Polres Jaksel Terbitkan SP3, LBH-IPW Minta Polisi Transparan

Pihak Kejati Daerah Khusus Jakarta terus menyelidiki perkara tersebut. Karena keuangan perusahaan negara (PT Hutama Karya (Perseroan)) kehilangan Rp1,2 triliun atas transaksi pembelian tanah untuk proyek Technopark yang ternyata status tanahnya tidak clean and clear alias bermasalah.

Hal ini diketahui setelah adanya Laporan Hasil Audit Investigasi (LHAI) dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU