> >

Refleksi 9/11 dari Suara Para Korban Teror Bom: Luka Masih Tersisa, tapi Dendam Sudah Dikubur

Peristiwa | 10 September 2024, 20:55 WIB
M  Al-Agung Prasetyo dan Susi Alfitrini yang merupakan dua penyintas bom Kampung Melayu 2017 silam saat ditemui dalam sebuah acara, Minggu (8/9/2024). (Sumber: KompasTV/Iman Firdaus )

JAKARTA, KOMPAS.TV- Pasca teror 9/11 tahun 2001 silam di Amerika Serikat (AS), Indonesia pun tak luput dari serangan teror.

Tercatat Indonesia mengalami serangkaian serangan bom seperti Bom Bali I (Oktober 2002) dan Bom Bali II (Oktober 2005). Kemudian bom kedutaan Besar Australia (September 2004), Bom Hotel JW Mariot (Juli 2009), Bom Thamrin (Januari 2016), Bom Kampung Melayu (Mei 2017)  dan Bom  Surabaya (Mei 2018), Bom Astanaanyar Bandung (Januari 2022). 

Semua teror bom itu ada korban nyawa selain yang terluka. Sucipto Heri Wibowo, salah satunya, yang merupakan korban di depan Kantor Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan pada 2004 silam.

Sucipto tidak menyangka, yang saat itu bekerja di bagian administrasi dan jarang keluar kantor, di hari nahas itu justeru diminta mengambil dokumen yang melintasi tempat kejadian.

"Ketika bom meledak, saya jatuh dan  motor mati di pinggir jalan," kenangnya di acara Aliansi Indonesia Damai (AIDA) yang dihadiri oleh KompasTV, Minggu (8/9/2024). 

Suara ledakan dari bom berkekuatan 300 kilogram itu, membuat saraf di kepalanya terganggu hingga sekarang. Meski sudah menjalani pengobatan dan rehabilitasi, namun bagian belakang kepalanya masih sering sakit.

"Kalau sudah berkeringat, saya biasanya menghentikan aktivitas," kata Sucipto yang kini dipercaya menjadi Ketua Yayasan Penyintas Indonesia yang menghimpun  para korban teror bom.

Baca Juga: Rumah Bustami Hamzah, Cagub Aceh Dilempari Bom oleh Orang Tak Dikenal Pagi Tadi

Satu-satunya alasan Sucipto bangkit adalah, dia sadar bahwa sudah memiliki anak sehingga kehidupan harus terus berjalan. 

Hal yang sama juga dialami oleh Muhammad Al Agung Prasetryo, polisi yang jadi korban bom Kampung Melayu 2017 silam. Kala itu dia sedang berdinas di pos polisi Kampung Melayu, Jakarta Timur. Tanpa diketahui, seorang lelaki beransel meledakan bom.

Agung sempat lari dan menolong beberapa korban yang tergelatak. Namun tanpa disadari dia pun menjadi korban, kepalanya mengeluarkan banyak darah dan tubuhnya banyak luka.

"Saya sempat diberitakan meninggal di sebuah runing text televisi," katanya.

Beruntung, Agung masih bisa selamat meski kepala dan badannya diberi banyak jahitan.

Kini, dia ditugaskan di Tahti (Tahanan dan Barang Bukti) Polda Metro Jaya, tidak lagi berdinas di lapangan. Agung juga menerima Kenaikan Pangkat Luar Biasa (KPLB).

Setelah peristiwa itu berlalu, Agung sudah mengubur dendam pada para pelaku meski luka masih tersisa di tubuhnya. Bahkan Agung yang kini bertugas menjaga tahahan, termasuk tahanan kasus teror, sering mengantar para pelaku itu ke rumah sakit untuk berobat.

"Kalau saya dendam, bisa aja saya pukuli," katanya. Nyatanya hal itu tidak dia lakukan.

Begitu pula yang menimpa Susi Alfitriani. Perempuan perantauan asal Brebes, Jawa Tengah, itu tak menyangka upaya mengubah nasibnya di ibu kota justeru harus mengalami peristiwa bom Kampung Melayu.

Pipit, panggilannya, kala itu sedang mencari tiket pulang ke kampung halamannya. Setelah keluar dari minimarket, dia mendengar ledakan yang sangat dahsyat.

"Suaranya seperti ledakan bom di telinga saya," ujarnya.

Sesaat dia hanya berdiri dengan asap yang mengepul di sekitarnya. Dia awalnya menduga dunia sedang kiamat. 

Baca Juga: Israel Diduga Pakai Bom AS untuk Bantai 100 Orang di Sekolah Gaza, Washington Dinilai Bersandiwara

Namun, tak lama dia menyadari bahwa dirinya berada di dekat pusat ledakan. Beberapa orang menolongnya ke rumah sakit terdekat menggunakan angkutan kota. Tanpa keluarga yang hadir, untuk beberapa saat Pipit hanya tergelatak di rumah sakit.

Beruntung sebagian temannya menemukan dia dan segera menandatangani berkas yang perlu. Pipit pun akhirnya menjalani operasi di bagian tangan kanan yang dagingnya robek terkena pecahan gotri. 

Pipit yang kala itu sedang kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta sekaligus menjadi baby sitter, menyadari sudah menjadi korban bom. Dengan mata berkaca-kaca, dia yang berasal dari keluarga kurang mampu itu, kini sudah tidak lagi memendam dendam.

"Tapi jangan sampai ada lagi bom. Apa yang menimpa saya, tidak menimpa yang lain," ucapnya dengan nada bergetar.

Pipit kini sudah dikaruni anak perempuan. Dia berharap anak perempuannya menjadi pengganti "tangan kanan"nya yang kini tidak bisa bergerak sempurna.                           

 

       

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU