SETARA soal Revisi UU Pilkada 7 Jam: Membangkangi Putusan MK dan Akal-akalan DPR
Peristiwa | 22 Agustus 2024, 08:32 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- SETARA Institute menilai revisi Undang-undang Pilkada yang dilakukan DPR dengan waktu 7 jam cacat materiil dan formil.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Badan Pengurus SETARA Institute sekaligus Dosen Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah, Ismail Hasani dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas TV, Kamis (22/8/2024).
“Bukan hanya membangkangi putusan MK, revisi 7 jam atas UU Pilkada mengandung cacat materiil dan formil, karena rumusan syarat pencalonan ditafsir sesuai selera para vetokrat untuk kepentingan menguasai semua jalur dan saluran kandidasi Pilkada,” ucap Ismail.
Baca Juga: Muhammadiyah: DPR Tak Semestinya Berbeda dengan Putusan MK, Ini Timbulkan Disharmoni Ketatanegaraan
“Penetapan syarat bervariasi yang telah ditetapkan MK, ditafsir oleh DPR sebagai tidak berlaku bagi partai yang memperoleh kursi di DPRD. Akal-akalan tafsir juga diberlakukan terkait tafsir konstitusional genapnya usia 30 tahun bagi seorang calon gubernur/wakil gubernur, yang dihitung sejak pencalonan.”
Ismail menegaskan, Putusan MK seharusnya berlaku apa adanya ketika sudah dinyatakan berkekuatan hukum tetap, final, mengikat dan self executing. Sebab, kedudukan berlakunya Putusan MK adalah selayaknya berlakunya UU.
“Bentuk ketidakpatuhan DPR terhadap Putusan MK tersebut juga merupakan suatu pelanggaran hukum, yang selain menabrak tatanan konstitusional juga telah merobohkan prinsip checks and balances,” ujar Ismail.
“Peragaan kehidupan demokrasi yang semakin rapuh, revisi kilat UU Pilkada untuk kepentingan elit dan pembangkangan putusan Mahkamah Konstitusi telah menjadi bukti tidak adanya kepemimpinan dalam interpretasi konstitusi (constitutional leadership) meski Indonesia memiliki Mahkamah Konstitusi.”
Baca Juga: PDI-P Minta Anies Baswedan Jadi Kader Jika Mau Diusung sebagai Cagub Jakarta
Menurut Ismail, semestinya tidak ada badan lain yang paling berwenang dalam menafsir konstitusi kecuali Mahkamah Konstitusi yang memegang judicial supremacy dalam menegakkan supremasi konstitusi.
“Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi tidak lagi memegang supremasi judisial dalam menafsir konstitusi, karena pada akhirnya kehendak para vetokrat telah memenangkan kehendak segelintir elit yang tidak berpusat pada kepentingan rakyat,” katanya.
“Tanpa kepemimpinan konstitusi, sistem ketatanegaraan Indonesia akan semakin rapuh dan semakin menjauh dari mandat respublika, karena rakyat dan aspirasi rakyat bukan lagi menjadi sentrum perumusan legislasi dan kebijakan publik.”
Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV