> >

Pakar Hukum Sebut KPU Harus Segera Buat Aturan Turunan usai MK Ubah Syarat Pencalonan di Pilkada

Politik | 20 Agustus 2024, 21:05 WIB
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, dalam dialog Kompas Petang, Kompas TV, Selasa (20/8/2024), yang membahas putusan MK mengenai ambang batas pencalonan di pilkada. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI harus segera menerbitkan peraturan tentang teknis pendaftaran calon kepala daerah yang akan maju di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2024.

Bivitri menuturkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas persentase suara sebagai syarat pendaftaran calon kepala daerah, harus segera ditindaklanjuti.

Menurutnya, putusan MK tersebut memerlukan aturan turunan untuk teknis pelaksanaannya.

“Biasanya karena ini akan ada teknisnya, perlu aturan turunan,” kata dia dalam dialog Kompas Petang Kompas TV, Selasa (20/8/2024).

“Jadi misalnya begini, kalau kita bandingkan saja juga yang agak mepet itu putusan nomor 90, yang pilpres kemarin yang meloloskan Gibran (Gibran Rakabuming Raka), itu (aturan turunan) keluar hanya tiga hari.”

Baca Juga: Ridwan Kamil Tanggapi Putusan MK Ubah Ambang Batas Pilkada, Singgung Takdir Allah dan Kekuasaan

Saat itu, menurut Bivitri, KPU bisa langsung menerbitkan Peraturan KPU (PKPU). Oleh sebab itu, untuk putusan MK mengenai ambang batas pencalonan di pilkada, KPU juga harus segera menerbitkan aturan turunannya.

“Nah yang sekarang ini juga harus segera dikeluarkan, karena nanti ada teknisnya, misalnya teknis formulirnya. Mau tidak mau KPU harus melaksanakan ini, tidak ada pilihan lain dan tidak ada tafsir lain juga,” bebernya.

Bivitri juga berpendapat putusan MK kali ini sangat progresif karena menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, sehingga tidak ada lagi partai politik yang bisa benar-benar dipaksa untuk mengikuti koalisi yang besar.

“Iya, inilah nilai baiknya, progresivitasnya menurut saya di situ, karena persentasenya saja, dilihat dari persentasenya dari 20 persen diturunkan jadi 7,5 persen untuk Jakarta ya. Tapi lagi-lagi tergantung jumlah penduduk provinsi atau kabupaten itu.”

“Jadinya tidak ada yang bisa dipaksa betul oleh suatu koalisi yang terlalu besar,” tegasnya.

Dalam dialog itu, Bivitri juga menyatakan dengan penurunan ambang batas pencalonan sesuai dengan proporsi jumlah penduduk, akan lebih banyak partai politik yang bisa mengusung kandidat di pilkada.

“Jadi ini akan lebih banyak partai politik yang bisa berpartisipasi, tidak dikunci oleh partai politik yang dapat kursi di DPRD,” tuturnya.

“Bayangkan yang kemarin berkompetisi dan dapat suara tapi tidak dapat kursi. Itu mereka bisa bergabung.”

Ia mencontohkan Partai Buruh yang menjadi salah satu pemohon perubahan ambang batas ke MK.

Menurut Bivitri, Partai Buruh bisa bergabung dengan partai lain untuk mengakumulasi suara mereka sampai 7,5 persen dan mengajukan calon di Pilkada Jakarta.

“Jadi dengan ini lebih fair (adil, red) menurut saya, dan kita warga juga jadinya mudah-mudahan dapat pilihan-pilihan yang lebih banyak, tidak terbatasi oleh orang-orang yang difilternya sedemikian rupa oleh partai-partai politik besar dalam koalisi KIM Plus itu.”

Baca Juga: Pakar Sebut Putusan MK soal Ambang Batas Pilkada Langsung Berlaku: Konstelasi akan Berubah

Sebelumnya pada Selasa (20/8), MK memutuskan ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara partai politik/gabungan partai politik hasil Pileg DPRD sebelumnya, atau 20 persen kursi DPRD.

Keputusan terkini MK adalah ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah jalur independen/perseorangan/nonpartai sebagaimana diatur pada Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Untuk Pilkada Jakarta, parpol atau gabungan parpol bisa mengusung kandidat pasangan calon jika memenuhi 7,5 persen suara pada pileg sebelumnya.

 

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas TV


TERBARU