> >

Menteri ESDM: Perubahan Iklim Menuntut Reduksi Semua Emisi Karbon

Peristiwa | 5 Juli 2024, 13:07 WIB
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) Arifin Tasrif saat meluncurkan soft energize (pemberian tegangan listrik) ke smelter PT Ceria Nugraha Indotama yang bersumber dari layanan energi baru terbarukan (EBT) PLN di Kolaka,Sulawesi Tenggara, Selasa (2/7/2024).(Sumber:istimewa)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Perubahan iklim (climate change) menuntut kita mereduksi semua emisi karbon. Sehingga industri dituntut untuk menyediakan energi bersih kepada pelanggan. "Pemerintah berkewajiban untuk mendukung kebutuhan energi bersih ini,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia (ESDM) Arifin Tasrif saat meluncurkan soft energize (pemberian tegangan listrik) ke smelter PT Ceria Nugraha Indotama yang bersumber dari layanan energi baru terbarukan (EBT) PLN di Kolaka,Sulawesi Tenggara, Selasa (2/7/2024).

Menurut Arifin, menggunakan energi terbarukan di seluruh rantai industri  menjawab kebutuhan langkah dekarbonisasi global dan sejalan dengan upaya pemerintah untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) 2060.  

Baca Juga: Srikandi PLN "Goes to Campus" Ajak Mahasiswa Palembang Menuju Energi Bersih dan Berkelanjutan

Menteri Arifin mengatakan, saat ini Pemerintah memang sedang mengembangkan ekosistem untuk kelistrikan yang bersih ke depan. 

“Ini adalah salah satu modal bangsa kita. Saat ini yang sedang direncanakan adalah bagaimana kita bisa menyuplai listrik dari energi yang memiliki emisi karbon yang lebih rendah, antara lain kita ingin memanfaatkan gas alam yang saat ini kita temukan potensinya sangat menjanjikan,” jelasnya. 

Menurut Menteri Arifin, selama ini smelter-smelter yang di Sulawesi masih menggunakan sumber energi dari Batubara yang diperkirakan mencapai kurang lebih 20 giga watt dan menghasilkan emisi karbon cukup besar. 

“Nah ini tentu saja akan menjadi tantangan ya buat industri smelter yang ada disini. Mengapa? Karena sekarang ini dunia menuntut industri menghasilkan green product dengan menggunakan energi bersih. Negara-negara Eropa, sudah mendorong pemakaian energi bersih dan sudah mulai akan menerapkan Cross Border Carbon Mechanism. Beberapa negara eropa bahkan sudah ada yang menerapkan pajak karbon yang cukup tinggi, ya di Skandinavia sudah diatas US$100 per ton. Ini harus kita antisipasi,” imbuhnya. 

“Kita bersyukur Ceria Nugraha Indotama satu-satunya yang bisa masuk standar The new Inflation Reduction Act (IRA) dan ini tentu saja harus dipertahankan untuk pengembangan produk-produk selanjutnya. Karena kita melihat bahwa aturan-aturan IRA ini nanti akan mempermudah produk industri itu terserap ke pasar Amerika Serikat (AS). Nah tentu saja kita memang harus mengantisipasi. Bagaimana industri kita bisa berkembang agar cita-cita kita untuk elektrifikasi ini bisa tercapai,” urainya. 

Baca Juga: Menteri ESDM Benarkan Penggeledahan Kantor Ditjen Minerba oleh KPK Terkait Dugaan Korupsi Tukin

Adapun sumber pasokan listrik di industri Ceria Group antara lain; Ceria memiliki Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) dengan PT PLN (Persero) sebesar 414 MVA (352 MW) listrik dari sumber tenaga ramah lingkungan seperti diatur dalam Pembelian Sertifikat Energi Terbarukan (REC). Penggunaan sertifikat REC oleh Ceria akan meningkat secara bertahap mulai dari sekitar 80.000 unit pada tahun 2024 menjadi 2,2 juta unit pada tahun 2030. Setiap 1 unit sertifikat REC mewakili 1 Megawatt-jam (MWh) konsumsi energi listrik.

Untuk menjaga keandalan dan stabilitas listrik industri Ceria Group, PLN juga membangun Pembangkit Listrik Mobile Barge Mounted berkapasitas 2 x 60 MW (BMPP) dilengkapi dengan Terminal LNG dan fasilitas Regasifikasi di lokasi Ceria.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkapkan, progress proyek Strategis Nasional (PSN) smelter nikel milik PT. Ceria Nugraha Indotama sangat positif. 

Adapun proyek smelter yang dimaksud adalah smelter dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF), yang pada tahap awal dibangun 1 jalur produksi (1 x 72 MVA) untuk mengolah bijih nikel saprolit, dan ke depannya akan dibangun sebanyak empat lajur produksi (4 X 72 MVA) secara bertahap dengan kapasitas produksi 252.700 ton per tahun.

Arifin menekankan bahwa pemerintah berharap pelaku industri pemurnian mineral harus bisa mengembangkan ekosistem untuk produk akhir elektrifikasi, karena Indonesia memiliki sumber daya mineral yang sangat bernilai.

"Kita harus mengantisipasi, bagaimana industri dalam negeri ini bisa berkembang, cita-cita kita elektrifikasi bisa tercapai, nikel ini tentu saja ada di poros baterai NCM (Nikel Cobalt Mangan), kita punya nikel, kemudian limonet kita juga punya cobalt konten yang signifikan, kemudian juga kita masih punya sumber mangan di Nusa Tenggara Timur, nah inilah yang harus kita integrasikan," imbuh Menteri Arifin.

Sementara itu, CEO Ceria Group Derian Sakmiwata mengungkapkan bahwa smelter RKEF Ceria line 1 akan beroperasi dalam dua hingga tiga bulan ke depan. "Ukuran furnace-nya 72 MVA ini yang nanti akan input raw mineral sebesar 1,4 juta metrik ton per tahun di kadar 1,59," urainya.

Derian menyebut, itu merupakan Langkah awal Ceria, dan RKEF masih memiliki target membangun 4 jalur RKEF yang akan dibangun secara bertahap, dan juga akan membangun smelter dengan teknologi HPAL (High Pressure Acid Leaching) dan seluruh aktivitas industri CERIA berpedoman terhadap kaidah Environment, Social and Governance (ESG).

"Saat ini Ceria juga aktif untuk menerapkan IRMA (Initiative for Responsibility Mining Assurance), ini adalah cara Ceria untuk mengupgrade pola operasi untuk lebih memperhatikan aspek lingkungan dan sosial lebih detail lagi untuk mencegah bahaya-bahaya historis yang bisa terjadi lagi dan mencegah bahaya-bahaya yang akan terjadi," tandasnya.

Proyek fasilitas pemurnian bijih nikel milik Ceria merupakan proyek smelter Indonesia pertama yang didanai oleh perbankan nasional, yakni PT. Bank Mandiri (Persero) Tbk.

 

 

 

Penulis : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU