Wakil Ketua KPK Akui Pemberantasan Korupsi Gagal
Hukum | 1 Juli 2024, 19:57 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengakui bahwa pemberantasan korupsi telah gagal.
Pengakuan Alexander tersebut disampaikan saat Komisi III DPR mempertanyakan kinerja lembaga antirasuah tersebut selama hampir lima tahun terakhir.
”Saya harus mengakui secara pribadi delapan tahun saya di KPK, apakah berhasil? Saya tidak akan sungkan (mengatakan), gagal memberantas korupsi. Gagal,” ungkap Alexander dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (1/7/2024), dikutip Kompas.id.
Menurutnya, kegagalan yang dimaksud diukur dari stagnasi indeks persepsi korupsi dalam sembilan tahun terakhir.
Baca Juga: Hasto Kristiyanto PDIP Siap Penuhi Panggilan KPK Terkait Harun Masiku
Pada tahun 2015, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia yang diterbitkan oleh Transparency Internasional mencapai skor 34 dan sempat naik menjadi 40 beberapa tahun setelahnya. Namun skornya kembali menjadi 34 pada 2023.
Ia menuturkan, pengukuran indeks persepsi korupsi tersebut dilakukan dengan beberapa indikator yang tidak hanya menjadi tanggung jawab KPK, tetapi juga lembaga lain.
Namun, ada persoalan pada kerja sama antarlembaga, yang menyebabkan berbagai lini terkait pemberantasan korupsi itu tidak bisa optimal.
”Ada yang menyampaikan, kondisinya sekarang ini kembali ke sebelum reformasi. Orang jadi tidak takut lagi melakukan korupsi,” kata Alexander.
Ia menegaskan, situasi itu sudah sejak lama terjadi, bahkan sebelum revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019.
Meski sejumlah pihak menilai revisi UU KPK melemahkan lembaga antirasuah tersebut, ia menyebut tidak ada yang berubah secara riil.
Menurutnya KPK tetap kesulitan saat menangani kasus dan bekerja sama dengan kejaksaan dan kepolisian, terlebih jika KPK dalam posisi menyupervisi.
”Jadi, ini persoalan ketika kita berbicara pemberantasan korupsi ke depan. Saya khawatir dengan mekanisme seperti ini. Terus terang saya tidak yakin kita akan berhasil memberantas korupsi,” tuturnya.
Ia pun menyambut gagasan merevisi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Ia berpendapat perlu adanya perubahan untuk memperkuat posisi KPK di antara kejaksaan dan kepolisian.
Revisi tersebut juga perlu untuk menegaskan fungsi Dewan Pengawas (Dewas) KPK, karena kewenangan Dewas KPK saat ini menyerupai pimpinan KPK.
”Kadang saya berseloroh, KPK periode ini dipimpin 10 orang, lima (unsur) pimpinan dan lima (unsur) dewas,” ujarnya.
Sementara, Ketua Sementara KPK Nawawi Pomolango yang ditemui seusai rapat menyebut supervisi KPK terhadap lembaga penegak hukum lain agak tersendat.
”Ketika kita kemarin ada nangkap, misalnya, oknum kepala kejaksaan negeri, pintu supervisi menjadi sedikit agak ini (tersendat),” katanya.
Dalam rapat bersama pimpinan KPK tersebut, sejumlah anggota Komisi III DPR menyampaikan beberapa pertanyaan.
Baca Juga: Herannya Adian Napitupulu Soal KPK Menyita Buku Sekjen PDIP Hasto
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Johan Budi, mempertanyakan hubungan KPK dengan kejaksaan dan Polri.
Ia mempertanyakan fungsi pencegahan dan pendidikan antikorupsi yang digiatkan lembaga antirasuah dalam beberapa tahun terakhir.
”Pencegahan dan pendidikan antikorupsi KPK itu gunanya untuk apa? Karena ada insan KPK yang melakukan hal-hal di luar itu,” ujarnya bertanya.
Sedangkan anggota Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, menyebut kewenangan KPK tidak berguna jika rapuh pada persoalan internal.
Ia mencontohkan tentang tidak pernahnya ada penjelasan resmi mengenai keberadaan mantan Ketua KPK Firli Bahuri.
Begitu juga Lili Pintauli Siregar, mantan Wakil Ketua KPK yang terbukti melanggar etik, tetapi bisa mengundurkan diri begitu saja tanpa dimintai pertanggungjawaban oleh KPK.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas.id