> >

Infeksi Bakteri "Pemakan Daging" di Jepang Nyaris 1.000 Kasus, Sudah sampai Indonesia?

Peristiwa | 27 Juni 2024, 20:20 WIB
Pengunjung berjalan di Pasar Luar Tsukiji di Tokyo, Jepang, Jumat (7/6/2024). Sindrom syok toksik streptokokus (STSS) yang disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus pyogenes kelompok A, sedang melanda Jepang. (Sumber: AP Photo/Eugene Hoshiko)

 

JAKARTA, KOMPAS.TV - Sindrom syok toksik streptokokus (STSS) yang disebabkan oleh infeksi bakteri Streptococcus pyogenes kelompok A, sedang melanda Jepang. Jumlah kasus STSS di Jepang hampir mencapai 1.000 dan menjadi perhatian global.

Bakteri ini dijuluki "pemakan daging" karena dapat menghancurkan kulit, lemak, dan jaringan di sekitar otot dalam waktu singkat.

Penularan STSS terjadi melalui pernapasan dan droplet (percikan ludah atau lendir) dari penderita.

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, belum ditemukan adanya kasus infeksi bakteri "pemakan daging" di Indonesia.

“Kalau sampai saat ini di Indonesia belum ada laporan ya untuk kasus bakteri 'pemakan daging'," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes Siti Nadia Tarmizi dalam siaran pers yang diterima Kompas.tv di Jakarta, Kamis (27/6/2024). 

Siti Nadia mengatakan, pihaknya terus memantau situasi melalui surveilans sentinel Influenza Like Illness (ILI) – Severe Acute Respiratory Infection (SARI) dan pemeriksaan genomik.

Baca Juga: Gegerkan Jepang, Apa Itu Bakteri "Pemakan Daging"? 77 Orang Meninggal Dunia

Ia menjelaskan, kasus STSS yang dilaporkan di Jepang, umumnya kasus di rumah sakit yang disebabkan bakteri streptokokus yang biasanya muncul dengan gejala faringitis atau peradangan pada tenggorokan atau faring.

Infeksi STSS bisa berakibat fatal karena pasien dapat mengalami sepsis dan gagal multiorgan. 

"Namun, penyebabnya secara pasti masih belum diketahui karena gejala STSS biasanya ringan dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu singkat," ujarnya. 

Jepang telah melaporkan kasus infeksi streptokokus dalam sistem notifikasi surveilans sejak 1999.

Pada 2023, terdapat 941 kasus, dan angka ini meningkat menjadi 977 kasus pada Juni 2024.

Baca Juga: Pemerintah Jepang akan Hancurkan Kondominium 10 Lantai, Alasannya Halangi Pemandangan Gunung Fuji

Meskipun mengkhawatirkan, tingkat penyebaran STSS jauh lebih rendah dibandingkan dengan Covid-19. 

Tetapi, masyarakat diimbau untuk tetap menerapkan perilaku hidup sehat, menggunakan masker saat sakit, dan membiasakan mencuci tangan secara rutin.

“Yang paling penting saat ini, kebiasaan baik yang sudah terbentuk di masa pandemi Covid-19 terus dijalankan seperti cuci tangan pakai sabun dan memakai masker, sehingga meminimalisir perpindahan droplet lewat pernafasan," tutur Siti Nadia. 

Hingga saat ini, tidak ada pembatasan perjalanan dari dan ke Jepang terkait dengan STSS.

Baca Juga: Daerah Bebas Malaria Bertambah 17, Kemenkes: Penyakit Menular Butuh Perhatian Bersama

Kemenkes mengatakan, berdasarkan laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait peningkatan kasus iGAS atau invasive Group A Streptococcal disease, termasuk STSS, di Eropa pada Desember 2022, tidak ada rekomendasi pembatasan perjalanan ke negara-negara yang terdampak.

Pengobatan STSS dilakukan dengan pemberian antibiotik. Hingga saat ini, belum ada vaksin khusus untuk mencegah infeksi bakteri "pemakan daging" ini.

 

Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : KOMPAS TV


TERBARU