> >

Amnesty Internasional: Penyiksaan oleh Aparat Penegak Hukum Makin Mengkhawatirkan

Peristiwa | 27 Juni 2024, 10:35 WIB
Diskusi Amnesty Internasional Hari Anti-Penyiksaan Internasional di Jakarta (Sumber: Amnesty Internasional)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Amnesty International Indonesia mengungkapkan penyiksaan terhadap warga sipil oleh aparat keamanan dan penegak hukum kian meningkat dalam tiga tahun terakhir, dan ironisnya didominasi anggota Kepolisian RI.  

Karena itu, pemerintah perlu segera menguatkan mekanisme pengawasan dan akuntabilitas aparat demi mengakhiri praktik penyiksaan tersebut.

Demikian disampaikan Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, dalam diksusi memperingati Hari Anti-Penyiksaan Internasional, Rabu (26/6/2024).  

Wirya mengingatkan bahwa hak untuk bebas dari penyiksaan dijamin dalam hukum internasional dan konstitusi Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Sipil dan Politik serta Konvensi Menentang Penyiksaan.

“Meskipun sudah dijamin oleh konstitusi, Amnesty mencatat terdapat setidaknya 226 korban penyiksaan di Indonesia sejak Juli 2019,” katanya.

Baca Juga: Komisi Penyelidikan PBB: Kejahatan Kemanusiaan Israel di Gaza, dari Penyiksaan hingga Pemusnahan

Bahkan, Amnesty mencatat terus bertambahnya jumlah penyiksaan oleh aparat penegak hukum dalam tiga tahun terakhir.

“Periode 2021-2022 terdapat setidaknya 15 kasus dengan 25 korban. Lalu periode 2022-2023 naik menjadi setidaknya 16 kasus dengan 26 korban. Bahkan, pada periode 2023-2024 melonjak menjadi setidaknya 30 kasus dengan 49 korban,” ujar Wirya.  

“Selama tiga periode tersebut, pelaku penyiksaan didominasi oleh anggota Polri sebanyak 75 persen, personel TNI 19 persen, gabungan anggota TNI dan Polri 5 persen, dan petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) 1 persen. Ini merupakan data yang mengkhawatirkan.” 

Dalam diskusi tersebut, juga diungkapkan dugaan penyiksaan polisi terhadap beberapa anak di Kota Padang, Sumatra Barat, dengan dalih melakukan penertiban wilayah dari aksi tawuran.

Insiden tersebut mengakibatkan salah satu dari mereka meninggal dunia, yaitu remaja berusia 13 tahun berinisial AM.

Direktur LBH Padang, Indira Suryani, mengungkapkan AM ditemukan meninggal di bawah Jembatan Batang Kuranji, Padang, dengan bekas luka-luka kekerasan.

“Kami menduga tidak hanya AM, tapi anak-anak lainnya mendapat penyiksaan yang diduga dilakukan aparat. Mereka ditangkap dan disiksa karena dituduh melakukan tawuran,” kata Indira.

Indira menuturkan, LBH Padang yang mengawal kasus ini sudah melapor ke Propam Polda Sumatra Barat untuk memperoleh keadilan bagi para korban.

Baca Juga: Hotman Paris Komentari CCTV Viral soal Dugaan Penyiksaan Vina dan Eky

Penyiksaan pun sering kali dilaporkan terjadi dalam proses hukum untuk mendapat “pengakuan” dari tersangka. Ini seperti yang ditemui pengacara publik di Nusa Tenggara Barat, Yan Mangandar Putra, saat mendampingi sejumlah warga di Kabupaten Dompu yang menjadi terpidana mati atas kasus mutilasi.

Kelima warga itu dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi (PT) Mataram pada 18 Januari 2018 terkait kasus mutilasi. Kini, mereka tengah menunggu Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung. 

Yan mengungkapkan sebelumnya polisi di Dompu memeriksa enam tersangka dalam kasus pembunuhan yang disertai mutilasi itu.

“Para tersangka mengalami kekerasan oleh karena penyidik merekayasa agar mereka mengakui telah melakukan pembunuhan berencana dengan cara mayat korban dimutilasi. Selama sekitar dua minggu, mereka terutama dua tersangka di antaranya, sering mengalami penyiksaan,” ujar Yan.  

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Tito-Dirhantoro

Sumber : Kompas TV


TERBARU