> >

Advokat Petrus Selestinus: KPK Jadikan Hasto Kristiyanto Tumbal Politik Balas Dendam Kekuasaan

Hukum | 11 Juni 2024, 14:20 WIB
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto di Gedung KPK, Senin (10/6/2024) sore. (Sumber: Tangkap Layar Kompas TV.)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai telah menjadikan Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto sebagai tumbal politik balas dendam kekuasaan.

Lantaran, KPK telah menyita handphone milik Hasto Kristiyanto dari stafnya dengan cara menjebak.

Hal tersebut disampaikan oleh Koordinator TPDI (Tim Pembela Demokrasi Indonesia) dan Advokat Perekat Nusantara Petrus Selestinus di Jakarta, Senin (11/6/2024).

“Dalam kasus sita HP dan Tas tangan milik Saksi Hasto, KPK justru melakukan sita tidak dari tangan Hasto tapi dari seorang staf Hasto itupun dengan cara menjebak,” kata Petrus.

Baca Juga: Alasan PKB Tidak Dukung Khofifah di Pilgub Jatim 2024: Prestasinya Tidak Bagus-Bagus Amat

“Ini adalah langkah polticking KPK, nuansa politiknya sangat kental, antara lain untuk mempermalukan seorang Hasto dengan segala aktivitas Hasto selama ini bahkan Hasto diduga kuat dijadikan sebagai tumbal politik balas dendam kekuasaan.”

Tidak hanya itu, Petrus juga menilai KPK telah melakukan tindakan sewenang-wenang, mencampuradukan wewenang dan melampaui wewenang.

“Karena apapun alasannya Hasto adalah saksi, bukan tersangka. Namun tindakan KPK menyita HP dan tas tangan milik Hasto, seolah-olah Hasto adalah tersangka, berimplikasi kepada tindakan sita KPK menjadi tidak sah dan KPK harus segera kembalikan HP dan tas tangan milik Hasto tanpa syarat,” ucap Petrus.

Jika tidak, maka KPK berpeluang untuk digugat praperadilan berdasarkan ketentuan pasal 66 UU No.19 Tahun 2019.

Baca Juga: Jokowi Optimistis Timnas Indonesia Menang Lawan Filipina

“Implikasi hukum lainnya adalah KPK bisa digugat Praperadilan dan Gugat PMH ke Pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 66 UU No.19 Tahun 2019 Tentang KPK sejalan dengan KPK dilaporkan ke Dewas KPK sebagai pelanggaran Etik, semata-mata karena KPK tidak cermat membaca ketentuan pasal 46 dan 47 UU No.19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 20 Tahun 2002 Tentang KPK,” kata Petrus.

 

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU