> >

Wamenkes Klaim Penerapan KRIS Tak Kurangi Ketersediaan Tempat Tidur di RS secara Signifikan

Humaniora | 6 Juni 2024, 22:05 WIB
Ilustrasi. Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono membantah penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) akan mengurangi tempat tidur di rumah-rumah sakit di tanah air secara signifikan. (Sumber: Kementerian PUPR. )

JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono membantah penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) akan mengurangi tempat tidur di rumah-rumah sakit di tanah air secara signifikan. 

Dari hasil kajian Kememenkes, penerapan KRIS hanya sedikit mengurangi ketersediaan tempat tidur. 

"Kalau kita hitung dari evaluasi, apakah pemberlakuan KRIS ini akan menurunkan jumlah pasien dan tempat tidur yang digunakan, kami mengidentifikasi bahwa estimasi kehilangan tempat tidur itu sama sekali sedikit," kata Dante dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (6/6/2024). 

Rapat itu juga diikuti oleh Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti, Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Baca Juga: BPJS Watch Sebut Pasien Bisa Sulit Dapat Kamar saat KRIS Berlaku, Ada Oknum RS yang Membatasi

Ia memaparkan, dari data yang dimiliki Kementerian Kesehatan, ada 609 rumah sakit yang tidak mengalami kehilangan tempat tidur. Lalu ada 292 rumah sakit yang diperkirakan kehilangan satu hingga 10 tempat tidur.

"Jadi memang ternyata implementasi KRIS yang nanti akan dilakukan dan memberikan kekhawatiran akan kehilangan jumlah tempat tidur, berdasarkan bed occupation rate (BOR), yang sekarang berlaku ini tidak akan terjadi,” tuturnya seperti dikutip dari Antara.  

Pada kesempatan yang sama, kekhawatiran mengenai potensi rumah sakit kehilangan banyak tempat tidur disoroti oleh Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.

Ketua Dewas BPJS Kesehatan Abdul Kadir mengatakan, salah satu kriteria penerapan KRIS, yakni jumlah maksimal tempat tidur sebanyak satu hingga empat tidur harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan.

Baca Juga: Baru 30 Persen RS Swasta yang Siap Terapkan KRIS, Asosiasi: Kami Senang kalau Ada Insentif

"Dengan adanya kriteria KRIS ini maksimal jumlah tempat tidur dalam satu ruangan adalah empat tempat tidur," ujarnya. 

"Maka sebagaimana kita ketahui bahwa sekarang ini masih banyak rumah sakit yang satu ruangan itu ada delapan atau enam tempat tidur, tentunya berpotensi pengurangan tempat tidur," lanjutnya.

Hal serupa juga pernah disampaikan Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar. Ia khawatir masyarakat akan semakin susah mengakses kamar rawat inap, saat KRIS diterapkan. 

Pasalnya, rumah sakit harus menyediakan kamar rawat inap maksimal berisi 4 tempat tidur. Hal itu diatur dalam Perpres 59/2024 tentang Perubahan Ketiga atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Baca Juga: BPJS Kesehatan Wajib Punya untuk Pembuatan SIM, kalau Ada Tunggakan Bagaimana?

Kemudian, dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 tahun 2021 ada ketentuan prosentase tempat tidur yang harus disediakan rumah sakit untuk KRIS. 

Yaitu 40 persen untuk BPJS Kesehatan dan 60 persen untuk umum, serta 60 persen untuk BPJS Kesehatan dan 40 persen untuk umum di rumah sakit pemerintah.

Sementara saat ini, seluruh kamar yang dimiliki RS bisa diakses pasien JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) sesuai kelas kepesertaannya. Tapi dengan kondisi itu, masih ada pasien yang sulit mendapat kamar.

“Persoalannya bagaimana peserta bisa mengakses lebih mudah (dapat kamar). Sekarang saja ada oknum rumah sakit yang masih membatasi peserta JKN. Kamarnya kosong dibilang penuh, kan peserta enggak tahu apa betul penuh sehingga dia harus cari sendiri,” kata Timboel saat berdialog dengan presenter Kompas TV Mysister Tarigan di program BTalk, Selasa (21/5/2024).  

Baca Juga: Kritik Pengelolaan Anggaran, Anggota Komisi X Ingin Kemendikbudristek Diperiksa KPK

Apalagi, lanjut Timboel, jika nanti kamar untuk peserta JKN ditetapkan 40 persen dan 60 persen. Jika kuota itu terpenuhi, maka RS tak bisa menyediakan kamar untuk peserta JKN lagi karena yang tersisa hanya kamar untuk umum. Pasien akan terpaksa memilih rawat inap dengan biaya sendiri atau mencari rumah sakit yang lain.

“Alasannya, karena pasien JKN itu dibayar pakai INA-CBG’s yang pasti lebih rendah dari fee for service. Dan pasien BPJS itu, kalau dia pulang baru diklaim. Nah kalau pasien umum, dengan fee for service, dia pulang uang cash masuk,” lanjutnya.

Sebagai informasi, Indonesia Case Based Groups atau INA-CBG’s standar tarif untuk pembayaran Jaminan Kesehatan Nasional. Tarifnya tentu berbeda dengan tarif pasien umum atau asuransi swasta.

“Dengan PP 47/2021 itu membatasinya terlegitimasi oleh regulasi. Bisa saja pihak rumah sakit bilang “Kan dari 100 bed kami disyaratkan 40 persen, boleh dong kami kasih 50 persen dan yang sisa 50 persen lagi kami kasih ke umum,” tutur Timboel.

 

 

Penulis : Dina Karina Editor : Vyara-Lestari

Sumber :


TERBARU