Dari Persidangan SYL: Mantan Jubir KPK Dihadirkan Hari Ini hingga Desakan Periksa Auditor BPK
Peristiwa | 3 Juni 2024, 05:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Persidangan Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) terus bergulir dan mengungkapkan fakta-fakta baru yang disampaikan para saksi.
Menurut jadwal, hari ini Senin (3/6/2024) pengadilan Tipikor akan menghadirkan mantan juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah.
Hal itu disampaikan jaksa KPK Meyer Simanjuntak, di PN Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (29/5/2024).
"Di rencana kami kan kalau Mas Febri ada di dalam berkas ya, kita mengupayakan panggilan itu pada hari Senin (3/6/2024)," kata Jaksa Meyer dikutip dari Kompas.com
Meyer mengatakan, Febri merupakan salah seorang saksi yang ada di dalam berkas.
Febri Diansyah adalah mantan aktivis antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW).
Sembilan tahun berkecimpung di lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pemantauan pemberantasan korupsi, Febri kemudian dilirik oleh KPK sebagai juru bicara pada 2016.
Baca Juga: KPK Sita Mobil Innova Venturer dari Anak SYL Sekaligus Anggota DPR Indira Chunda Thita di Bandung
Kiprah Febri di KPK berakhir setelah kurang lebih empat tahun. Dia resmi mundur dari lembaga antirasuah pada September 2020.
Desakan Periksa Auditor BPK
Persidangan kasus gratifikasi ini juga mendapatkan desakan agar menghadirkan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebab, dalam persidangan terungkap aliran dana ke auditor BPK sebanyak Rp5 Miliar.
Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra menyatakan, praktik dugaan suap yang diduga melibatkan oknum auditor dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam kasus opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Kementerian Pertanian dengan terdakwa Syahrul Yasin Limpo (SYL) ini sudah masuk pelanggaran pidana.
Dalam persidangan perkara SYL dan kawan-kawan disebutkan, auditor BPK meminta uang sejumlah Rp12 miliar untuk menerbitkan status WTP Kementan. Namun yang baru dibayarkan sebesar Rp5 miliar.
"Praktik suap yang dilakukan oknum auditor dan anggota di lingkungan BPK RI itu nyata, dimana telah melakukan kejahatan yang melekat dengan kedudukan atau jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya," kata Azmi kepada wartawan di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
"Fungsi auditor BPK yang melekat dan strategis kok digunakan untuk perilaku bagai 'bandit merajalela' dan karenanya perilaku culas begini harus diberantas habis," tambahnya.
Menurut Azmi, kasus tersebut sungguh miris dan tindakan memalukan yang dilakukan oknum pegawai BPK.
"Suap maupun pemerasan terkait laporan audit, itu terstruktur mulai dari Tim Pemeriksa, Pengendali Teknis, Penanggung Jawab dan Anggota," jelasnya.
Sementara itu Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC) Elizabeth Kusrini menyatakan, faktor utama yang menyebabkan BPK terlibat dalam kasus korupsi karena lembaga tersebut tidak memiliki badan pengawas yang efektif.
Kondisi ini memungkinkan anggota BPK untuk bergerak secara leluasa dan memanfaatkan celah dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 untuk berbuat sewenang-wenang.
Baca Juga: Terungkap, SYL dan Istri Beli Serum Wajah dari Jepang Pakai Uang Kementan, Segini Harganya
Selain KPK terdapat beberapa lembaga lain yang memiliki wewenang untuk mengusut dugaan suap dan tindak pidana korupsi, seperti Kejaksaan, Polri, Inspektorat, dan Ombudsman.
"Ombudsman meskipun tidak melakukan penyidikan, dapat berperan dalam mengawasi pelayanan publik dan dapat merekomendasikan investigasi atas dugaan maladministrasi di lembaga pemerintah itu,"kata Elizabeth.
Selain itu, sambung Elizabeth, masyarakat sipil dan media juga memainkan peran penting dalam mengawasi dan melaporkan dugaan korupsi yang dapat memicu penyelidikan oleh lembaga-lembaga tersebut.
"Transparansi dan partisipasi publik sangat penting dalam upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum yang adil di Indonesia," ujarnya.
"Dalam praktiknya, partai politik dapat mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk aspek hukum, etika, dan citra publik, sebelum membuat keputusan. Jika ada keputusan etik yang menemukan pelanggaran berat, maka Dewan Etik BPK dapat memberikan rekomendasi sanksi, termasuk pemberhentian," kata Elizabeth.
Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Alvin Nicola berpendapat, perdagangan opini WTP marak terjadi.
Hal itu karena desain pengawasannya minim, sementara insentif dari label WTP jauh lebih besar untuk kenaikan anggaran.
”Situasi memprihatinkan di BPK hari ini sesungguhnya tidak mengejutkan, terutama karena desain kelembagaan lembaga audit negara ini memang sejak awal tersandera kepentingan politik,” ujar Alvin.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV