> >

Tapera Ditolak Pekerja yang Sudah dan Belum Punya Rumah: Perbanyak Rumah Subsidi, Mudahkan KPR

Humaniora | 30 Mei 2024, 07:35 WIB
Ilustrasi. Rencana pemerintah memungut iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan memotong gaji pekerja tiap bulan, menuai hujan protes. Terutama dari kalangan pekerja, baik yang berstatus karyawan tetap maupun pekerja lepas. (Sumber: KONTAN/Baihaki)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Rencana pemerintah memungut iuran Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) dengan memotong gaji pekerja tiap bulan, menuai hujan protes. Terutama dari kalangan pekerja, baik yang berstatus karyawan tetap maupun pekerja lepas. 

Anin (35), pekerja di salah satu perusahaan multinasional, mengaku tak setuju dengan pungutan Tapera. Apalagi ia dan suami sudah memiliki sebuah rumah di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Banten. 

Ia mengatakan, untuk bisa membeli rumah, besaran potongan Tapera tidak sesuai dengan laju inflasi dan jangka waktu yang diperlukan.

Bahkan, kata dia, untuk membayar uang muka saja tidak cukup. Sehingga Anin menyebut dasar pemotongan gaji pekerja untuk Tapera tidak jelas. 

"Pun makin sebelnya, sejak pajak penghasilan potongan baru, take home pay bulanan itu sudah makin kecil. Ditambah Tapera ini, akan makin kecil," kata Anin kepada Kompas.tv, Rabu (29/5/2024). 

"Dan pemotongan Tapera ini nanti klaimnya enggak jelas, apakah bisa ditarik macam dana pensiun atau gimana? Dan secara estimated growth (estimasi pertumbuhan, red) mending gue invest sendiri di instrumen lain," tambahnya. 

Baca Juga: Pengamat: Ini Syarat yang Harus Dipenuhi kalau Pemerintah Mau Tapera Berhasil

Menurutnya, jika pemerintah memang ingin membantu masyarakat agar lebih mudah punya rumah, caranya dengan mengontrol harga rumah atau menyediakan rumah subsidi. 

"Karena kendala generasi sekarang punya rumah karena besaran gaji dan pengeluaran pokok, bahkan tanpa lifestyle, versus harga rumah enggak akan bisa nutup," ujarnya. 

Hal senada juga diungkapkan Nandari (36), pekerja lepas (freelance) di bidang periklanan yang sudah punya dua rumah. Satu peninggalan orang tua dan satu lagi hasil mencicil sendiri.

Sebagai pekerja freelance, ia menyebut potongan Tapera nanti harus ditanggung sendiri karena tak ada pihak pemberi kerja. Tidak seperti pegawai perusahaan yang iurannya ditanggung pekerja dan perusahaan. 

Belum lagi potongan pajak penghasilan (PPh) dan BPJS Kesehatan yang juga dibayar penuh sendiri.

Baca Juga: Menteri Basuki Sebut Tapera Bukan Uang Hilang, tapi Tabungan Hari Tua untuk Beli Rumah

"Lah Tapera kalau untuk yang udah punya rumah kayak saya, buat apa? Saya baca-baca soalnya cuma bisa diambil buat rumah pertama. Berarti kan saya enggak bisa pake dong nantinya?" ungkap Nandari.

"Udah gitu bisa diambilnya kalau sudah usia tertentu/pensiun. Lama bener. Manfaatnya beneran enggak ada buat saya. Tapi saya tetep harus keluarin uangnya? Kan enggak adil ya," terangnya.

Ia berujar, pemerintah bisa mendirikan perumahan rakyat atau public housing untuk membantu masyarakat agar bisa punya rumah. 

Public housing, lanjut Nandari, salah satunya berbentuk rumah susun (rusun) tapi tidak mesti selalu rusun.

Ia menyebut negara-negara lain sudah ada yang membuat public housing dan bentuknya tidak selalu rusun. 

"Jadi bangunan dan tanah yang diperuntukan untuk perumahan tapi dikelola sama pemerintah supaya ada rumah hunian yang harganya terjangkau. Soalnya yang enggak 'ngotak' itu sekarang harga properti. Enggak sebanding sama kenaikan upah," tegasnya.

Potongan untuk Tapera juga ditentang oleh pekerja yang belum memiliki rumah.

Dalam pandangan Gilang (32), punya rumah belum tentu jadi keinginan atau prioritas semua orang. Apalagi kalau iuran Tapera bersifat wajib, sehingga pemerintah terkesan memaksa rakyat. 

Baca Juga: Catat, Ini Ketentuan Baru Pembatalan Tiket Kereta Api Jarak Jauh Per 1 Juni 2024

"Buat yang berpenghasilan enggak begitu tinggi, potongan-potongan kayak gitu berarti banget," ucapnya saat dihubungi Kompas.tv, Rabu. 

Bagi Gilang, akan lebih tepat sasaran jika pemerintah memperbanyak kerja sama dengan pengembang perumahan bersubsidi atau membuat aturan yang mempermudah syarat Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Ia sendiri saat ini masih mengontrak dan ada rencana mengambil KPR jika ada yang sesuai dengan kemampuan finansialnya. 

Seperti diketahui, regulasi mengenai Tapera diteken oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Senin, 20 Mei 2024 yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 21/2024 yang merupakan perubahan dari PP 25/2020.

Klasifikasi kelompok yang wajib mengikuti program ini yakni ASN, TNI, POLRI, pekerja BUMN/BUMD, serta pekerja swasta.

Baca Juga: Luhut Sebut Avtur dari Minyak Jelantah Bisa Bikin Cuan Rp13 T, Diluncurkan September 2024

Dalam aturan itu disebutkan bahwa pemberi kerja wajib membayar simpanan peserta yang menjadi kewajibannya, dan memungut simpanan peserta dari pekerja.

Adapun besaran iuran ditetapkan sebesar 3 persen dari gaji atau upah untuk Peserta Pekerja dan penghasilan untuk Peserta Pekerja Mandiri. 

Untuk Peserta Pekerja ditanggung bersama antara perusahaan dengan karyawan masing-masing sebesar 0,5 persen dan 2,5 persen, sedangkan Peserta Pekerja Mandiri menanggung simpanan secara keseluruhan.

Peserta yang yang termasuk dalam kategori Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat memperoleh manfaat berupa Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Bangun Rumah (KBR), dan Kredit Renovasi Rumah (KRR) dengan tenor panjang hingga 30 tahun dan suku bunga tetap di bawah suku bunga pasar. 

Dana yang dihimpun dari peserta akan dikelola oleh BP Tapera sebagai simpanan yang akan dikembalikan kepada peserta.

 

Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : KOMPAS TV


TERBARU