Analisis Bivitri Susanti: Kue Kekuasaan Mulai Dibagi-bagi untuk Ciptakan Stabilitas Politik
Politik | 2 Mei 2024, 07:57 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menyebut bahwa usai pemilu kali ini, kekuasaan mulai dibagi-bagi untuk menciptakan stabilitas politik. Kalaupun kue yang dibagi tidak cukup untuk semua yang meminta jatah kue, penguasa bisa saja membuat kue menjadi lebih besar. Hal itu dia paparkan dalam analisis politik di laman Kompas.id, Kamis (2/5/2024).
"Bagaimana bila jabatan yang bisa dibagikan tak cukup? Jumlah menteri yang diatur dalam undang-undang kementerian negara, sejumlah maksimal 34, bisa saja diubah bila penguasa menginginkannya," tulis pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera itu.
Bukankah mengubah hal penting secara tidak etis baru saja kita alami Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah aturan mengenai calon wakil presiden? Jangan lupa, ada pula wakil menteri dan menteri koordinator. Tak ketinggalan: komisaris badan usaha milik negara.
Baca Juga: Bivitri Susanti Sebut Putusan DKPP Berdampak pada Legitimasi Pemilu dan Pemerintahan Selanjutnya
Bivitri pun mengutip Juan Linz (1990), yang menyebutnya consociational democracy atau demokrasi yang dibangun dengan membentuk kerja sama di antara kelompok-kelompok yang berbeda untuk membagi kekuasaan. Model ini tidak salah sepanjang dibatasi oleh dua hal.
Pertama, peleburan ini tidak boleh meminggirkan aspek akuntabilitas dalam demokrasi dengan tidak membuat koalisi yang terlalu besar. Kedua, ia harus dibuat dengan visi yang jelas, tujuan bernegara yang terang bagi semua—bukan tanpa arah hanya untuk membagi kekuasaan untuk keuntungan elite politik.
Tak boleh kita lupakan, negara eksis karena ada warga. Bahkan, penguasa mendapatkan kekuasaannya dari warga.
"Saatnya kita mengkritik pandangan bahwa setelah pemilu dianggap selesai warga cukup menyerahkan urusan politik kepada orang-orang yang sudah dipilihnya. Bila ini yang terjadi, sumber-sumber daya alam Indonesia akan semakin terkuras, untuk kepentingan elite pemegang kekuasaan.
Pandangan yang keliru ini sengaja dibiarkan, sementara kesibukan terjadi di sisi sebaliknya, yaitu politikus yang justru sibuk mengorganisasikan kekuasaan.
Baca Juga: Soal Pemanggilan Presiden di Sidang MK, Pakar Hukum Tata Negara Nilai Itu Mendesak
Tapi bila negara hanya organisasi kekuasaan, apa bedanya negara dengan organisasi bajak laut atau mafia, misalnya? Yang membedakan tentu saja hukum; mafia melanggar hukum, sedangkan negara justru dianggap mempunyai legitimasi hukum sebagai kekuasaan yang sah.
Nyatanya, negara juga bisa melanggar hukum, baik secara kolektif dalam pelanggaran hak asasi manusia maupun dalam kasus perorangan seperti dalam tindak pidana korupsi. Bahkan, negara justru membuat hukum sehingga apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ditentukan sendiri oleh negara.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV