Jejak dan Harapan Garuda Muda (III): dari Pogacnick ke Shin Tae-Yong
Humaniora | 27 April 2024, 06:10 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Antun "Toni" Pogacnik adalah pelatih Timnas Indonesia saat bertandang ke Melbourne, Australia, untuk berhadapan dengan Uni Soviet di ajang Olimpiade 1956 dengan skor kacamata. Racikan pelatih asal Yugoslavia itu terbukti ampuh.
Dua tahun sebelumnya, tahun 1954, tepatnya pada saat perhelatan Asian Games II di Manila, Pogacnik bersama Timnas berhasil menembus babak semifinal namun harus kandas dalam pertandingan melawan Taiwan dengan skor 2-4. Dalam perebutan juara 3, kalah oleh Birma dengan skor 4-5.
Kejutan terjadi saat perhelatan Asian Games III 1958 di Tokyo, Jepang. Timnas Indonesia mampu menorehkan prestasi tertinggi dengan meraih perunggu dalam Asian Games 1958. Timnas berhasil menekuk tim sepak bola India dengan skor 4-1. Saat pertandingan sepak bola di Olimpiade Melbourne, Timnas Indonesia harus bertemu Timnas Uni Soviet.
Baca Juga: Daftar Info Lokasi Nobar Timnas U23 Indonesia vs Korea Selatan: Jakarta, Semarang, hingga Surabaya
Berhasil menahan imbang Uni Soviet tanpa gol adalah salah satu prestasi, sebab Soviet adalah salah satu jawara sepak bola dunia. Saat itu, babak tambahan dan adu tendangan penalti belum menjadi aturan yang lumrah sehingga diadakan pertandingan kedua. Namun keberuntungan belum berpihak pada Timnas Indonesia. Dalam pertandingan kedua, Timnas Indonesia harus mengakui keunggulan Timnas Uni Soviet dengan skor 4-0.
Setelah Pogacnick tak melatih Timnas pada 1964, timnas sepak bola Indonesia masih disegani di ASEAN, bahkan di Asia. Di tingkat Asia, misalnya, prestasi timnas adalah lolos ke babak semifinal sepak bola Asian Games tahun 1986. Namun, Timnas gagal meraih medali perunggu setelah kalah dari Kuwait 0–5 di Stadion Olimpiade, Seoul, Korea Selatan.
Sebelumnya, Timnas Indonesia juga berlaga hingga babak perempat final di Asian Games 1966 dan Asian Games 1970. Adapun di ajang Piala Dunia 1986 di Meksiko, Timnas lolos ke putaran II Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia.
Dikutip dari Litbang Kompas, pada masa Orde Baru, tercatat 12 pelatih lokal membesut tim Garuda. Mulai dari Endang Witarsa (1966-1970) sampai Danurwindo (1995-1996). Sementara pelatih asing tercatat sembilan nama yang pernah menangani tim Garuda yang semuanya berasal dari Eropa.
Baca Juga: KBRI Doha: 5.000 WNI akan Dukung Timnas U23 Indonesia saat Lawan Korea Selatan
Pada awal Orde Baru, satu nama pelatih yang melegenda adalah Endang Witarsa (1966-1970). Bersama Timnas Indonesia, ia sudah melalui beberapa laga internasional. Pelatih yang akrab disapa Opa Endang itu sudah menggondol gelar Piala Raja (Bangkok/1968), Merdeka Games (Malaysia/1969), dan Aga Khan Cup (Bangladesh/1969). Selain itu, Endang Witarsa juga mendampingi timnas Garuda hingga babak perempat final di Asian Games 1966 dan 1970.
Pelatih lainnya yang terbilang sukses menangani Timnas Indonesia adalah Sinyo Aliandoe dan Bertje Matulapelwa. Sinyo mendamping Timnas berjuang lolos ke Piala Dunia 1986 Meksiko.
Timnas Indonesia di tangan Sinyo melangkah ke babak kedua Zona B AFC Kualifikasi Piala Dunia 1986 setelah lolos dari penyisihan grup yang dihuni India, Thailand, dan Bangladesh. Namun, di putaran kedua zona Asia, Timnas menuai kekalahan 0-2 dan 1-4 dari Korea Selatan sehingga mengubur mimpi Indonesia mewakili Asia lolos dalam putaran final di Meksiko.
Adapun Bertje mampu mempersembahkan medali emas sepak bola di ajang SEA Games 1987 di Jakarta. Bartje juga terbilang sukses membawa timnas sepak bola hingga semifinal di ajang Asian Games 1986 di Seoul, Korea Selatan. Di babak semifinal yang digelar di Stadion Olimpiade Seoul, Timnas dikalahkan tuan rumah Korsel dengan skor 0-4.
Pada akhir Orde Baru, peringkat Indonesia di FIFA meningkat di posisi ke-76 dari 208 total negara anggota FIFA. Selain faktor pelatih, faktor lainnya yang turut memengaruhi peningkatan pada masa Orde Baru itu adalah kompetisi dan pembinaan usia muda, penyatuan kompetisi Perserikatan dan Galatama melahirkan Liga Indonesia, serta masuknya pemain-pemain asing di Liga Indonesia sehingga membuat pemain lokal lebih berkembang.
Pada masa awal reformasi, skuad Garuda berhasil lolos ke putaran final Piala Asia 2000 di Lebanon setelah tak terkalahkan di babak kualifikasi. Namun, di putaran final Piala Asia 2000, Timnas Indonesia yang dilatih Nandar Iskandar gagal lolos dari fase grup karena kalah dari China dan Korea Selatan.
Pada era selanjutnya (2003-2011), prestasi Timnas terbilang meredup. Dua kali Timnas lolos di Piala Asia 2004 dan 2007, tetapi selalu gagal di babak awal. Bahkan, tahun 2011, Timnas gagal lolos di babak kualifikasi.
Pada era ini, Timnas pernah ditangani pelatih Peter Withe (2004-2007) dan Ivan Kolev (2007). Peter Withe mendampingi Timnas di ajang Piala Asia U-20 2004 dan hanya sampai di babak penyisihan grup. Sementara Ivan Kolev baru mampu mengantarkan timnas Garuda ke babak penyisihan grup Piala Asia 2007.
Selanjutnya, Timnas Indonesia dilatih Luis Milla dan Simon McMenemy. Selama menukangi timnas senior dan U-23, Luis Milla membawa timnas sepak bola U-23 Indonesia hingga babak 16 besar Asian Games 2018.
Sementara McMenemy yang mendampingi Timnas di Kualifikasi Piala Dunia 2022 Zona Asia tak sekali pun mempersembahkan kemenangan. Dalam lima kali pertandingan di Grup G Zona Asia, Timnas Indonesia selalu kalah dan menempati dasar klasemen.
PSSI kemudian mengganti McMenemy pada November 2019 dan menunjuk Shin Tae-yong asal Korea Selatan. Shin Tae-yong diberi tugas melatih tim Indonesia U-20, U-23, dan senior.
Di level Asia, Shin Tae-yong membawa timnas senior hingga babak 16 besar Piala Asia Qatar 2023. Selain itu, Shin Tae-yong juga membawa Timnas U-23 melaju ke babak semifinal Piala Asia U-23 2024 dan diharapkan melenggang ke Olimpiade Paris Juli mendatang. Semoga!
Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV