> >

PSI: Ambang Batas Parlemen 4 Persen Dibuat oleh Partai yang Lolos Parliamentary Threshold 2,5 Persen

Politik | 4 Maret 2024, 14:06 WIB
Ketu DPP PSI Cheryl Tanzil, dalam dialog Sapa Indonesia Pagi, Kompas TV, Senin (4/3/2024) menanggapi putusan MK soal persentase ambang batas parlemen. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Cheryl Tanzil menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang persentase ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.

Menurut Cheryl, sejak tahun 2019 PSI sudah menyuarakan tentang persentase ambang batas parlemen.

“Sebenarnya kalau kita mengikuti perjalanan PSI, dari 2019, kita memang sudah menyuarakan ini ya,” jelasnya dalam dialog Sapa Indonesia pagi, Kompas TV, Senin (4/3/2024).

“Bahwa ambang batas empat persen ini kan dibentuk oleh partai-partai yang sebenarnya mereka sendiri pun lolos di saat 2009 itu 2,5 persen PT nya. Lalu 2014 naik menjadi 3,5, dan 2019 naik menjadi empat persen,” bebernya.

PSI, lanjut dia, sangat mengapresiasi jika semangatnya untuk menyederhanakan partai politik (parpol) yang ada.

Baca Juga: Waketum PAN Sebut Parliamentary Treshold Besar Sebabkan Disproporsionalitas yang Besar

Tapi, penyederhanaan partai politik bukan dari sisi jumlahnya, melainkan dari sisi ideologi.

“Kami sih cukup apresiasi kalau semangatnya untuk menyederhanakan parpol-parpol yang ada. Tetapi sangat logis dengan pernyataan pak Viva Yoga yang mengatakan kita mau melihat dari jumlah parpol atau ideologinya,” tuturnya.

“Saya sih sangat apresiasi dengan penjelasan yang begitu bernas dari Pak Viva Yoga, yang kita mau kan di sini ideologinya, jangan yang terlalu banyak tapi bagaimana mengerucutkan ideologi-ideologi itu memang betul-betul representai dari para pemilih,” ujarnya.

Ia pun membeberkan catatannya mengenai hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 2019, bahwa jumlah suara pemilih yang tidak dikonversi menjadi anggota DPR mencapai 9,79 persen.

“Kalau digabungkan suara-suara kursi yang jadi dari caleg tapi partainya belum bisa menembus parliamentary threshold 4 persen itu ada 9,79 persen, ini cukup besar ya,” tuturnya.

“Malah tadi kalau di catatan Pak Viva Yoga itu kan 11,12 persen ya, kalau di catatan saya 9,79 peren, dan itu sebenarnya sudah lebih besar dari angka partai-partai papan tengah seperti NasDem juga ada PKB dan lain sebagainya,” tambahnya.

Ia juga berpendapat bahwa dalam mengajukan gugatan ke MK, semangat yang dibawa Perludem adalah jangan sampai ada aspirasi suara rakyat yang sudah mencoblos terbuang begitu saja.

“Dari sini kan begitu sayang, ada 7,79 persen yang terbuang suara rakyat, jadi tentunya kami sebagai PSI yang juga menyuarakan hal yang sama sejak tahun 2019, kami sangat apresiasi,” tegasnya.

“Ini merupakan suatu kemajuan dalam demokrasi meskipun ini open legal policy yang harus dibahas lagi oleh teman-teman di DPR nanti,” katanya.

Sebenarnya, lanjut Cheryl, kondisi di DPRD provinsi dan kabupaten/kota bisa diterapkan, yakni parpol yang anggota legislatifnya tidak cukup membentuk satu fraksi bergabung dengan parpol lain.

“Misalnya di DPRD. Di DPRD Bandung itu kami mengambil contoh ya, satu fraksi itu harusnya empat kursi, tapi PSI mendapatkn tiga kursi, akhirnya kami bergabung untuk jadi satu fraksi dengan PPP,” ujarnya.

Baca Juga: Politikus PDIP Sebut Putusan MK soal Ambang Batas Parlemen Picu Perdebatan Baru: Fraksi Siap Amunisi

Sebelumnya, dalam dialog yang sama, Waketum Partai Amanat Nasional (PAN) Viva Yoga Mauladi mengatakan, dari sisi teori, semakin tinggi ambang batas PT akan menyebabkan semakin besar disproporsionalitas.

Artinya, akan banyak suara sah yang nasional tidak bisa dikonversi menjadi kursi.

Ia pun mencontohkan pemilu tahun 2009, yakni suara sah nasional yang tidak bisa dikonversi menjadi kursi ada 14,4 persen, kemudian pada tahun 2014 ada 10,6 persen, dan Pemilu 2019 ada 11,12 persen.

“Kita belum tahu berapa nanti angka suara sah yang tidak bisa dijadikan kursi untuk 2024,” ujarnya.

“Meskipun parliamentary threshold ini bersifat tidak nasional, hanya berlaku untuk DPR RI, tidak berlaku untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota, maka dari Mahkamah Konstitusi tidak boleh empat persen, ya menurut akal sehat harus kurang dari empat persen,” bebernya.

Angka itu, kata dia, tidak boleh lebih dari empat persen, karena kalau lebih akan menyebabkan disproporionalitas dalam pemilu.

“Kedua, tidak ada batasan berapa jumlah ideal dari angka parliamentary threshold, karena setiap negara memiliki basis kultural politik masing-masing,” jelasnya.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Deni-Muliya

Sumber : Kompas TV


TERBARU