Sebut Suara Pilpres Dibeli Rp300 Ribu, Politikus PDI-P Ini Tolak Anggapan Pemilu 2024 Berjalan Baik
Rumah pemilu | 22 Februari 2024, 06:40 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Politikus PDI Perjuangan, Deddy Sitorus menilai bahwa Pemilu 2024 adalah "pemilu paling berengsek" sepanjang sejarah. Hal tersebut disampaikan Deddy menanggapi politikus Partai Gerindra, Andre Rosiade yang menyebut Pemilu 2024 berlangsung "jauh lebih baik."
Sebelumnya, Andre Rosiade menilai Pemilu 2024 berlangsung "jauh lebih baik" dibanding sebelumnya dengan menyinggung apresiasi dari pemantau asing terhadap pelaksanaan Pemilu 2024.
Hal tersebut disampaikan Andre mengenai wacana hak angket DPR yang disinyalir akan digulirkan koalisi Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin. Menurutnya, hak angket tidak perlu digulirkan di DPR.
"Soal perlu tidaknya hak angket, kami jelas, Partai Gerindra menyatakan tidak perlu. Karena apa? Karena pemilu kita jauh lebih baik dari sebelumnya, dan kita lihat bagaimana pemantau asing dan negara-negara lain mengapresaisi," kata Andre dalam program "Kompas Petang" Kompas TV, Rabu (21/2/2024).
Baca Juga: Komnas HAM Beberkan Temuan Sejumlah Kepala Daerah Tidak Netral di Pemilu 2024
Andre pun menyarankan parpol di parlemen tidak menggunakan hak angket terkait pelaksanaan pemilu. Ia menyebut persoalan terkait pemilu bisa dibahas dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan memanggil KPU dan Bawaslu.
Sebaliknya, Deddy menilai Pemilu 2024 sebagai pemilu paling "berengsek" sepanjang sejarah Indonesia. Ia pun menegaskan wacana hak angket bukan soal hasil pemilu, tetapi tentang integritas Pemilu 2024.
"Kalau dibiliang ini pemilu paling bagus, ini pemilu paling berengsek dalam sejarah. Saya punya banyak buktinya." kata Deddy.
"Kenapa saya katakan paling berengsek? Baru kali ini pemilu untuk milih presiden itu bayar 300 ribu. Dan saya punya banyak orang yag bersedia testimoni soal itu, bagaimana suara Ganjar di dapil saya yang survei dua hari sebelumnya 48 persen gembos jadi 4 persen. Itu masyarakat satu kampung dapat 300 ribu. Itu fakta yang terjadi di lapangan."
Deddy pun merujuk berbagai pemberitaan mengenai intervensi kekuasaan dan kerusakan demokrasi selama proses Pemilu 2024. Ia menyoroti soal cawe-cawe Presiden RI Joko Widodo dan dugaan pengerahan aparat negara untuk mengintervensi proses kepemiluan.
Deddy menambahkan, partainya akan serius dalam wacana hak angket DPR. Menurutnya, hak angket DPR bukan mempersoalkan hasil Pemilu 2024, melainkan mengenai integritas pemilu dan aksi-aksi instrumen negara dan lembaga penyelenggaraan pemilu.
"Sekali lagi, (hak angket) ini bukan soal hasil pemulu, karena pemilunya saja sejak awal sudah bobrok, ngapain kita persoalkan hasilnya? Hasilnya ya biarkan lah, DPR perlu menjaga marwah pemilu ini," katanya.
"Saya mengajak teman-teman di 01, 03, mari berpikir tentang bangsa. Kita perlu menuntaskan masalah ini. Sehingga ketika pemerintahan baru, siapa pun nanti, itu bisa berjalan baik, dengan legitimasi yang kuat," kata Deddy.
Sementara itu, dosen ilmu politik dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam menilai wacana hak angket adalah upaya mempertanyakan legitimasi Pemilu 2024 dengan pendekatan politik. Menurutnya, pihak yang mengupayakan angket meragukan kredibilitas Mahkamah Konstitusi.
"Kalau melalui MK, apakah Bang Deddy, termasuk kubu 01, percaya dengan kredibilitas MK? Yang sebelumnya menjadi materi bulan-bulanan bagi kubu 01 dan 03. Maka dalam konteks ini, agenda membuat angket adalah sebuah upaya perlawanan sebagai bentuk mosi tidak percaya terhadap sistem penegakan hukum melalui Mahkamah Konstitusi," kata Umam.
Meskipun demikian, Umam menyoroti kesolidan kubu 01 dan 03 dalam upaya hak angket. Ia menilai parpol-parpol "menengah" di Indonesia tidak siap berhadapan dengan kekuasaan, sehingga rentan dirayu bergabung ke kubu yang berkuasa.
Selain itu, Umam menilai kubu Prabowo-Gibran perlu kekuatan besar di parlemen untuk menciptakan stabilitas politik pada awal pemerintahan. Ia pun menyorot proyeksi kekuatan parlementer Gerindra yang masih kurang karena sejauh ini mendapatkan suara di bawah PDIP dan Golkar.
"Dalam konteks transisi kekuasaan, terutama praktis di satu tahun pertama kekuasaan, yang harus diciptakan adalah stabilitas politk dan pemerintahan. Untuk bisa mencipaktan itu, presiden baru membutuhkan sekitar 70 persen kekuatan di parlemen," kata Umam.
Baca Juga: Anies Tegaskan 3 Partai Pengusungnya Dukung Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024: Kami Siap Ikut
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV