Pengertian Silent Majority, Istilah yang Viral Pasca Quick Count Pemilu 2024
Rumah pemilu | 15 Februari 2024, 20:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Setelah hasil quick count Pemilu 2024 mulai beredar di media sosial, istilah "silent majority" kembali mencuat menjadi perbincangan hangat.
Tak asing bagi dunia politik, istilah ini telah menjadi bagian dari narasi pemilihan umum di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Fenomena silent majority tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lainnya. Istilah ini muncul kembali ke permukaan ketika hasil quick count dari berbagai lembaga survei mulai diperbincangkan, terutama terkait dengan Pilpres 2024.
Banyak lembaga survei, seperti Poltracking Indonesia, Indikator, CSS Indonesia, dan lainnya, merilis hasil quick count mereka.
Mayoritas dari hasil tersebut menunjukkan bahwa keunggulan presentase suara bagi pasangan calon nomor urut 2, Prabowo-Gibran.
Ridwan Kamil, salah satu tokoh yang turut aktif dalam menyebarkan hasil quick count tersebut, memberikan pernyataan terkait fenomena silent majority.
Dalam unggahannya, ia menjelaskan bahwa bagaimana istilah ini menjadi relevan dengan situasi politik saat ini.
"Alhamdulilah. Rakyat sudah berbicara, apapun argumentasinya. Indonesia berkelanjutan, penyempurnaan untuk maju dan juara," tulis Ridwan Kamil di caption Instagram, Rabu (14/2).
Baca Juga: Kala Prabowo Dibonceng Motor saat Ziarah ke Makam Sang Ayah di TPU Karet Bivak
Lalu, apa itu sebenarnya Silent Majority?
Istilah "silent majority" yang berasal dari bahasa Inggris. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, secara harfiah berarti mayoritas yang diam.
Konsep ini pertama kali secara politis diperkenalkan oleh Warren Harding dalam kampanyenya pada 1919.
Namun, popularitas istilah ini meningkat tahun 1960-an, ketika Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, menggunakannya sebagai strategi untuk menggerakkan semangat pemilih yang mungkin ragu untuk memberikan suaranya karena ketidakpuasan terhadap proses pemilihan.
Dalam pidatonya pada 1969, Nixon secara aktif menggunakan istilah "silent majority" untuk menarik dukungan dari para pemilih yang mungkin tidak muncul dalam jajak pendapat atau tidak terwakili dalam kelompok intelektual politik dan sosial internasional.
Istilah ini merujuk pada kelompok besar pemilih yang secara tidak langsung menyatakan dukungannya kepada salah satu pasangan calon.
Mayoritas yang diam ini umumnya terdiri dari beragam individu dengan latar belakang, keyakinan, dan kepentingan yang berbeda-beda.
Mereka adalah masyarakat yang tidak aktif secara langsung dalam politik dan cenderung untuk tidak mengungkapkan pendapat politik mereka di depan umum.
Meskipun mungkin memiliki preferensi politik, mereka lebih memilih untuk menjaga pendapat mereka sendiri dan mungkin tidak secara terbuka menyatakan dukungan mereka.
Namun demikian, meskipun terdengar kontradiktif, silent majority memiliki potensi besar untuk memengaruhi hasil pemilihan umum.
Dikarenakan jumlah yang besar, kelompok ini memiliki kekuatan untuk menjadi penentu dalam menentukan hasil suatu pemilihan.
Kandidat yang mampu meraih dukungan dari silent majority memiliki peluang yang lebih besar untuk meraih kemenangan, karena mereka mencerminkan suara mayoritas yang diam.
Oleh karena itu, strategi kampanye yang sukses harus mencoba untuk merangkul tidak hanya pemilih yang aktif secara politik, tetapi juga silent majority.
Memahami kepentingan dan kebutuhan mereka dapat menjadi kunci untuk meraih dukungan yang luas, dan akhirnya, meraih kemenangan dalam proses pemilihan.
Dengan demikian, peran silent majority dalam politik tidak boleh diabaikan, karena mereka memiliki potensi untuk memberikan dampak yang signifikan pada arah dan hasil suatu pemilihan.
Baca Juga: Quick Count Tampilkan Prabowo Unggul di Kandang Banteng, Ganjar: Agak Anomali dengan Suara Saya
Penulis : Kiki Luqman Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas TV, Tribun News