> >

Selama Kampanye 3 Capres-Cawapres Hasilkan 1,2 Juta Emisi Karbon, Setara Penduduk di Raja Ampat

Peristiwa | 13 Februari 2024, 20:42 WIB
Ilustrasi emisi karbon dioksida. Pemerintah mulai tahun depan akan menarik pajak karbon dengan sasaran pertama adalah PLTU Batubara. (Sumber: SHUTTERSTOCK/aapsky)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Trend Asia merilisi hasil emisi karbon para Capres-Cawapres sepanjang 69 hari atau 92 persen kampanye.

Diketahui selama masa kampanye para Capres-Cawapres menggunakan penerbangan privat, helikopter dan pesawat komersial carter. 

Berdasarkan data Trend Asia, dalam kurun waktu 92 persen hari kampanye, jejak emisi karbondioksida (CO2) yang ditinggalkan ketiga pasangan Capres-Cawapres mencapai 1.276.342 Kg dari pemakaian penerbangan privat atau private jet.

Jumlah total estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama kampanye ini setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan sekitar 37.539 orang di Indonesia. 

Jumlah tersebut lebih banyak dari emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dengan asumsi emisi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 Kg.

Baca Juga: Mahfud MD Tanggapi Gibran soal Kebijakan Emisi Karbon

Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry menjelaskan tren gas rumah kaca (GRK) Indonesia periode 2000-2019 dalam sub sektor transportasi, penerbangan sipi berkontribusi 7,93 persen atau 166.326 Gigaton karbondioksida ekuivalen (Gg CO2e). 

Urutan pertama dalam sub sektor transportasi ditempati oleh transportasi darat meliputi jalan raya dan kereta api dengan GRK periode sama 1.926.672 Gg CO2e atau 91,86 persen. 

Namun, sambung Ahmad, emisi sektor penerbangan sipil merupakan salah satu masalah serius, khususnya dalam penggunaan private jet

Laporan International Energy Agency (IEA) tahun 2022 menyebutkan penerbangan berkontribusi dua persen pada emisi CO2 secara global dan jumlah emisi yang dihasilkan dari penerbangan privat lebih tinggi dibandingkan penerbangan komersial. 

Kemudian studi Transport and Environment (2021), polusi per penumpang yang ditimbulkan private jet lebih banyak lima sampai 14 kali dari penerbangan komersial dan private jet 50 kali lebih berpolusi dibanding moda transportasi kereta.

Baca Juga: Debat Cawapres: Gibran Tanya soal Carbon Capture and Storage kepada Mahfud MD, Apa Itu?

"Penerbangan privat lebih berpolusi karena emisi penerbangan dihitung berdasar jumlah penumpang, semakin sedikit jumlah penumpang, maka semakin jejak karbon per individu semakin tinggi," ujarnya dalam keterangan tertulis, Selasa (13/2/2024).

Ahmad menambahkan dari data tersebut seharusnya penanganan emisi sektor transportasi, seperti penerbangan privat menjadi perhatian para kandidat sebagai langkah untuk menekan GRK.

Padahal sepanjang masa kampanye Pilpres 2024, para pasangan Capres dan Cawapres berlomba menyampaikan program kebanggaan untuk mengurangi emisi karbon dalam rangka memerangi krisis iklim jika mereka terpilih. 

Namun hal itu berbanding terbalik dengan emisi yang mereka keluarkan sepanjang saat masa pemilu yakni sebesar 1.276.342 Kg dari pemakaian private jet.

Menurtnya jejak karbon dari tiga paslon ini sangat tinggi terkait pemakaian pesawat, sehingga jelas berkontribusi memperparah pemanasan global. 

Baca Juga: Soal "Carbon Capture and Storage", Mahfud: Pembuatan Regulasi Perlu Buat Naskah Akademik Dulu

Di sisi lain pemakaian penerbangan privat jelas menunjukkan gaya hidup mahal dan mewah para pasangan Capres-Cawapres sementara rakyat sedang menghadapi kesusahan. 

"Seharusnya mereka bisa memakai pesawat komersial atau moda alternatif lain yang mungkin dan lebih rendah emisi untuk mengurangi jejak karbon selama kampanye sekaligus untuk menunjukkan komitmen serta arah transisi energi ke depan," Ahmad.

Adapun metode pemantauan data penerbangan ini dengan mencocokkan jadwal dan lokasi kampanye Pilpres 2024 dari masing-masing Paslon presiden dan wakil presiden dengan bandara terdekat atau lapangan terdekat untuk melihat kedatangan dan keberangkatan pesawat tersebut.

Pemantauan dilakukan sejak kampanye dimulai pada 28 November 2023 sampai 4 Februari 2024 atau selama 69 hari kampanye (92 persen hari kampanye). 

Jumlah perjalanan udara yang kami analisa sebanyak 235 kali dengan berbagai tipe pesawat dengan total jarak tempuh 174.108,37 Km. Semuanya penerbangan domestik.

Baca Juga: Sempat Buat Heboh Debat Cawapres, Apa Itu 'Greenflation' dan 'LFP' yang Ditanyakan oleh Gibran?

Ahmad menjelaskan tidak semua perjalanan dapat dianalisis karena keterbatasan data penerbangan dan adanya upaya menyembunyikan data pesawat yang digunakan di domain publik. 

"Kami menduga data penerbangan tersebut lebih banyak dari data yang tersaji untuk publik. Apa yang tersaji ini adalah puncak dari gunung es emisi penerbangan kandidat," ujarnya. 

Pajak Emisi Karbon

Manajer Riset Trend Asia, Zakki Amali menilai jumlah total estimasi emisi CO2 penerbangan tiga paslon selama kampanye ini setara dengan emisi penerbangan yang dihasilkan 37.539 orang di Indonesia.  

Atau lebih banyak dari emisi penerbangan yang dihasilkan seluruh penduduk Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat dengan asumsi emisi penerbangan per kapita di Indonesia sebanyak 34 Kg.

Baca Juga: Pajak Karbon Diterapkan 1 Januari 2022

Menurutnya fakta tersebut sangat irono mengingat para Paslon presiden dan wakil presiden membicarakan masa depan Indonesia atas emisi karbon. 

Zakki menjelaskan World Inequality Database (WID) pada 2019 mengungkap 10 persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 11,1 Ton karbondioksida ekuivalen per kapita CO2e dari seluruh sektor. 

Pada tahun sama, satu persen populasi orang terkaya di Indonesia menghasilkan 38,7 ton CO2e dari seluruh sektor. Sementara itu, dalam periode sama, per kapita di Indonesia menghasilkan 3,3 ton CO2e.

Data ini menunjukkan bahwa emisi dari 10 persen orang terkaya Indonesia tiga kali lipat dari rata-rata emisi nasional dan 1 persen orang terkaya mengeluarkan emisi setara emisi dari 12 individu umum. Jejak karbon dua kelompok ini menunjukkan ketimpangan emisi.

"Kelompok-kelompok terkaya memiliki jejak karbon per kapita yang sangat besar dibandingkan dengan rata-rata nasional. Emisi yang dihasilkan kelompok terkaya harus diatasi, misalnya dengan redistribusi kekayaan atau dengan menaikan pajak untuk orang kaya dan tidak mengulangi kebijakan semacam tax amnesty yang hanya menguntungkan orang kaya," ujar Zakki.

 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU