> >

Catat, Ini Batas Konsumsi Gula, Garam, Lemak Per Hari Menurut Kemenkes

Humaniora | 31 Januari 2024, 19:38 WIB
Ilustrasi. Kementerian Kesehatan mengingatkan, konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan merupakan perilaku masyarakat yang mendekatkan pada risiko penyakit tidak menular (PTM). Seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan jantung. (Sumber: aspartame.org)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Kementerian Kesehatan mengingatkan, konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan merupakan perilaku masyarakat yang mendekatkan pada risiko penyakit tidak menular (PTM).Seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan jantung. 

Pihak Kemenkes menyarankan, batas konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) per orang per hari, yakni 50 gram atau 4 sendok makan gula, 2.000 miligram natrium/ atau 5 gram atau 1 sendok teh garam (natrium/sodium), dan lemak hanya 67 gram atau 5 sendok makan minyak goreng.

"Konsumsi gula, garam, dan lemak berlebihan dapat menyebabkan sejumlah masalah kesehatan di antaranya obesitas," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Eva Susanti dalam keterangan resminya, Rabu (31/1/2024).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018, terjadi peningkatan obesitas penduduk usia 18 tahun ke atas.

Yakni dari 15,4% pada 2013 meningkat menjadi 21,8% pada 2018.

Baca Juga: Terungkap, Intelijen Israel Andalkan Data Kemenkes Palestina soal Angka Kematian di Gaza

Indonesia juga memiliki prevalensi obesitas anak yang tinggi.

Prevalensi obesitas pada usia 5-19 tahun meningkat dari 2.8% pada 2006 menjadi 6.1% pada 2016. 

Untuk kategori remaja usia 13-17, sebanyak 14.8% mengalami berat badan berlebih dan 4.6% mengalami obesitas.

Obesitas merupakan salah satu faktor risiko PTM sehingga peningkatan obesitas beriringan dengan peningkatan penyakit tidak menular di Indonesia.

Data The Global Burden of Disease 2019 and Injuries Collaborators 2020 menyebutkan, PTM merupakan penyebab dari 80% kasus kematian di Indonesia.

Eva menjelaskan, pemerintah tengah berupaya mengatasi peningkatan obesitas dan penyakit tidak menular.

Salah satunya dengan melakukan pembatasan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). 

Baca Juga: Nyaris Diabaikan Kampanye Capres-Cawapres, YLKI Ingatkan soal Cukai Minuman Berpemanis

Menurut Eva, pembatasan itu dapat dicapai melalui implementasi kebijakan cukai pada produk tersebut.

"Urgensi penerapan cukai ini karena konsumsi tinggi minuman berpemanis dapat menyebabkan diabetes. Padahal, diabetes merupakan salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia," ujarnya. 

Berdasarkan penelitian Vasanti S Malik et al. (2019), setiap peningkatan 1 takaran saji minuman berpemanis per hari berhubungan dengan peningkatan berat badan sebesar 0,12 kg per tahun pada orang dewasa. 

Kemudian, kelebihan konsumsi minuman berpemanis satu porsi per hari akan meningkatkan risiko terkena diabetes melitus tipe 2 sebesar 18%, stroke 13%, dan serangan jantung (infark miokard) 22%. 

Baca Juga: Kementerian ESDM Soroti Kenaikan Pajak BBM di DKI, Sebut Kurang Sosialisasi hingga Singgung Pemilu

“Peraturan saat ini tengah disosialisasikan dan dikoordinasikan bersama pemangku kepentingan terkait, seperti Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait besaran cukai yang akan diterapkan,” ucap Eva.

Ia menuturkan, pengenaan cukai pada MBDK dilatarbelakangi oleh dampak negatif yang ditimbulkan dari konsumsinya.

Baik dalam hal kesehatan masyarakat, khususnya peningkatan prevalensi PTM, maupun beban finansial yang ditanggung oleh sistem kesehatan.

Eva menyebut, Cukai MBDK salah satu intervensi yang dinilai cukup efektif untuk mengatasi PTM.

Apalagi, sebanyak 108 negara yang menerapkan kebijakan ini.

Berdasarkan penelitian Ferretti dan Mariani (2019), Indonesia menempati posisi ketiga di Asia Tenggara setelah Maldives dan Thailand dengan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) sebesar 20,23 liter per orang di Asia Tenggara. 

Baca Juga: Cair Bulan Februari 2024, Begini Cara Cek Penerima Bansos BLT Rp600 Ribu

Sumber lain, Rosyada dan Ardiansyah (2017), menyebutkan, konsumsi MBDK di Indonesia mengalami peningkatan 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir.

Yakni sebanyak 51 juta liter pada 1996 dan bertambah menjadi 780 juta liter pada 2014.

"Diharapkan, penerapan kebijakan ini dapat memperbaiki perilaku konsumsi masyarakat, memperbaiki kesehatan masyarakat, dan mendorong reformulasi produk industri yang lebih sehat," tandasnya. 

Penulis : Dina Karina Editor : Deni-Muliya

Sumber :


TERBARU