> >

Ketika Presiden Boleh Kampanye hingga Penilaian JK Sebut Jokowi yang Terlena Kekuasaan

Politik | 24 Januari 2024, 22:00 WIB
Presiden Joko Widodo saat sedang sesi wawancara didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla di kediaman Kalla, Jalan Haji Bau Nomor 16, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (21/12/2018). Jusuf Kalla menyebut Jokowi saat ini berubah karena terlena dengan kekuasaan. (Sumber: Istimewa via kompas.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan setiap orang punya hak dalam politik, termasuk Kepala Negara hingga menteri. 

Presiden Jokowi menjelaskan selain sebagai pejabat publik, dirinya merupakan pejabat politik yang juga punya hak berpolitik.

Oleh karena itu, Jokowi berpandangan presiden dan menteri boleh berpolitik. Presiden juga boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi pesta demokrasi dan berkampanye. 

Namun dalam menjalankan kegiatan politik, presiden maupun menteri tidak boleh menggunakan fasilitas negara. 

"Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," ujar Presiden Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).

Baca Juga: JK Sebut Jokowi Berubah karena Terlena Kekuasaan, Bandingkan Pemilu dengan Era Orba: 2024 Terburuk

Pemerintah Harus Adil 

Sementara itu, dalam sebuah wawancara Gaspol! Kompas.com, Wakil Presiden ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla menilai Pemilu 2024 merupakan proses demokrasi yang terburuk, bahkan jauh lebih buruk dari era Orde Baru.

Menurut JK, sapaan Jusuf Kalla, di era Orde Baru pemerintah membuat sistem agar Pemilu bisa diarahkan. Semisal mengerucutkan partai menjadi tiga, agar pilihan masyarakat terbatas. 

"Tapi tidak ada diancam, nanti dituntut, dipenjarakan, tidak boleh ke sini. Bahwa ada mengarahkan ada juga tetapi tidak seperti sekarang masif dari atas ke bawah. Ini kelihatan demokratis calonnya ada tapi diintimidasi lah di apalah, dilaksanakan tidak adil. Berpihak luar biasa," ujar JK dikutip dari Kompas.com, Rabu (24/1). 

JK menilai hal tersebut perlu dihilangkan. Sebab jika pemimpin dihasilkan dari proses yang jelek, proses pemaksaan, intimidasi, proses curang, tidak menutup kemungkinan menghasilkan pemimpin jelek pula.

Baca Juga: Pengamat Respons Pernyataan Jokowi soal Presiden Boleh Kampanye dan Memihak

JK yang juga Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) ini menjelaskan pemerintah harus adil melayani semua pihak. Dengan sistem itu sudah dibuat selama Indonesia merdeka. 

"Saya ikut kepada sistem yang ada, bahwa pemerintah itu harus adil melayani semua pihak. Nah itulah selama ini negeri ini diatur seperti itu. Kalau dilanggar hasilnya juga jelek. Bahaya," ujar JK. 

Haus Kekuasaan

JK menjelaskan sedari awal dirinya tidak ingin lagi terlibat di Pemilu 2024.

Namun melihat situasi dan perkembangan yang terjadi membuat dirinya harus kembali terlibat di Pemilu 2024 dengan mendukung pasangan Capres dan Cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. 

Baca Juga: JK Ibaratkan Pemimpin Seperti Sopir Bus: Kalau Sopir Suka Marah, Bisa Tabrakan!

"Sebenarnya saya mau ingin netral, ini melihat, ingin bersahabat semua. Tapi setelah saya lihat perilaku teman-teman, baik penguasa termasuk presiden yang tentu memihak," ujar JK.

JK juga melihat ada kecenderungan perubahan dalam diri Jokowi di akhir pemerintahannya.

Menurut JK, Jokowi sekarang tidak seperti yang dikenalnya saat memimpin negara di periode pertamanya, 2014 lalu.

Perubahan dalam diri Jokowi, sambung JK, tidak terlepas dari keinginan berkuasa. Hal ini didukung dari peristiwa yang terjadi menjelang Pemilu 2024. 

Semisal wacana perpanjangan masa jabatan Presiden hingga tiga periode. Terbaru Gibran Rakabuming Raka, maju menjadi Cawapres mendampingi Prabowo Subianto. 

Baca Juga: JK Buka Suara soal Wacana Gabung Koalisi Anies dan Ganjar di Putaran Kedua Pilpres

JK menilai bisa saja Jokowi berniat ingin tetap berkuasa melalui majunya Gibran. Pandangan-pandangan seperti itu diyakini JK tetap muncul karena terlena akan kekuasaan. 

"Ya faktor lain ingin tetap berkuasa. Ya mungkin ada rencana kalau mendukung 02 dia masih bisa mungkin memberikan arahan. Saya tidak tahu, tapi seperti itu kira-kira," ujar mantan ketua umum Partai Golkar ini.

 

Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU