Jokowi Sebut Presiden dan Menteri Boleh Kampanye dan Memihak, Benarkah? Ini Aturannya
Rumah pemilu | 24 Januari 2024, 12:58 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan bahwa presiden dan menteri boleh untuk berkampanye dan memihak pada Pilpres 2024.
Hal tersebut disampaikan Jokowi di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024) yang didampingi Menteri Pertahanan sekaligus calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh," kata Jokowi.
"Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. Boleh."
"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," ujarnya.
Lantas, benarkah presiden dan menteri bokeh ikut berkampanye?
Aturan UU Pemilu Terkait Presiden dan Menteri Ikut Kampanye
Terkait keikutsertaan presiden atau menteri untuk kampanye atau bergabung dengan tim kampanye, hal ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Pada Pasal 281 UU Pemilu menyebut bahwa presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota boleh terlibat dalam kampanye peserta pemilu.
Akan tetapi ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi yaitu:
Baca Juga: Jokowi: Presiden Boleh Kampanye dan Memihak di Pilpres 2024
- tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
- menjalani cuti di luar tanggungan negara, dengan memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara dan pemerintahan daerah.
Aturan mengenai presiden dan menteri ikut kampanye ini kemudian juga tertuang pada Bagian Kedelapan beleid tersebut.
Pada Pasal 299 berbunyi bahwa presiden dan wakil presiden berhak melaksanakan kampanye.
Pasal tersebut juga menyatakan bahwa pejabat negara yang merupakan kader partai politik (parpol) diizinkan untuk berkampanye. Sementara pejabat negara non-parpol juga bisa berkampanye selama didaftarkan sebagai anggota tim kampanye ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Lalu di Pasal 300 juga menyebut bahwa presiden dan wapres yang ikut pemilu wajib memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara.
Pada Pasal 302 dan 303 kemudian mengatur bahwa cuti menteri dan kepala daerah yang untuk kampanye dapat diberikan kepada menteri dan kepala daerah selama satu hari tiap minggunya di luar hari libur.
Sedangkan untuk hari libur menjadi hari bebas untuk menteri dan kepala daerah berkampanye.
Cuti untuk menteri diberikan oleh presiden, sementara cuti untuk kepala daerah diberikan oleh menteri dalam negeri.
Kemudian di Pasal 304 dan 305 turut mengatur pula terkait sejauh mana fasilitas negara dapat dipakai oleh pejabat negara dalam berkampanye.
Secara umum, fasilitas negara dilarang digunakan, tetapi ada sejumlah pengecualian. Berikut bunyi pasal 304 dan 305.
Baca Juga: Presiden Jokowi Jelaskan Maksud Pose Dua Jari Saat Kunjungan ke Salatiga: Menyenangkan
Pasal 304:
(1) Dalam melaksanakan kampanye, presiden dan wakil presiden, pejabat negara, pejabat daerah dilarang menggunakan fasilitas negara.
(2) Fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sarana mobilitas, seperti kendaraan dinas meliputi kendaraan dinas pejabat negara dan kendaraan dinas pegawai, serta alat transportasi dinas lainnya;
b. gedung kantor, rumah dinas, rumah jabatan milik pemerintah, milik pemerintah provinsi, milik pemerintah kabupaten/kota, kecuali daerah terpencil yang pelaksanaannya harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan;
c. sarana perkantoran, radio daerah dan sandi/telekomunikasi pemerintah provinsi/kabupaten/kota, dan peralatan lainnya; dan
d. fasilitas lainnya yang dibiayai oleh APBN atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(3) Gedung atau fasilitas negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang disewakan kepada umum dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 305:
(1) Penggunaan fasilitas negara yang melekat pada jabatan presiden dan wakil presiden menyangkut pengamanan, kesehatan, dan protokoler dilakukan sesuai dengan kondisi lapangan secara profesional dan proporsional.
(2) Dalam hal presiden dan wakil presiden menjadi calon presiden atau calon wakil presiden, fasilitas negara yang melekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap diberikan sebagai presiden dan wakil presiden.
(3) Calon presiden dan calon wakil presiden yang bukan presiden dan wakil presiden, selama kampanye diberikan fasilitas pengamanan, kesehatan, dan pengawalan oleh Polri.
(4) Pengamanan dan pengawalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibiayai dari APBN.
(5) Ketentuan lebih lanjut bagi pelaksanaan pengamanan dan pengawalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Presiden.
Baca Juga: Mahfud: Gibran Dilatih untuk Mempermalukan Saya, Saya Permalukan Balik Pelatihnya
Sempat Diuji ke MK Bulan Desember 2023
Pada bulan Desember 2023 lalu, seorang advokat bernama Gugum Ridho Putra mengujikan aturan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Menurut Gugum Ridho Putra (Pemohon), terdapat kekosongan hukum dalam aturan kampanye pada penyelenggaraan Pemilu 2024 mendatang di tengah potensi adanya konflik kepentingan, pelanggaran secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM), serta tidak adanya pembatasan penampilan citra diri.
“Undang-Undang Pemilu belum mengantisipasi potensi intervensi atau penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh jabatan yang disebabkan keterikatan hubungan keluarga sedarah ataupun semenda antara presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota dengan peserta pemilunya, baik itu pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota,” kata kuasa hukum Pemohon, M. Iqbal Sumarlan Putra, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (21/12/2023).
Pada perkara bernomor Nomor 166/PUU-XXI/2023 itu, pemohon menjelaskan, bahwa presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota sepatutnya dilarang mengikuti kampanye keluarganya yang menjadi peserta pemilu.
Sebab, hal ini sebetulnya telah diatur Pasal 22E ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang menginginkan pemilu dilaksanakan secara bebas, jujur, dan adil.
Dalam petitumnya, Pemohon meminta agar MK menyatakan bahwa Pasal 1 angka 3, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1), Pasal 286 ayat (2), Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945.
Dalam sidang panel yang dipimpin Ketua MK, Suhartoyo, didampingi Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dan Hakim Konstitusi, Arief Hidayat, Saldi dalam nasihatnya mengatakan bahwa Pemohon harus dapat mengelaborasi kerugian hak konstitusional pada pasal yang diuji dengan batu uji yang diajukan.
Hal senada juga diungkapkan Arief yang mendorong Pemohon untuk menguraikan argumentasi pertentangan norma UU Pemilu yang diuji terhadap pasal dalam UUD 1945 yang menjadi batu uji secara jelas dan komprehensif.
Arief juga mengatakan, hukum itu selalu ketinggalan dengan perkembangan masyarakatnya, termasuk perkembangan teknologi dan informasi.
Maka karena itu, dari sisi normatif, untuk menghindari kekosongan hukum, dirinya melihat Pemohon ingin menggerakkan MK untuk menjadi positive legislature atau menambahkan norma baru.
“Sehingga harus dibangunkan teori narasi yang menjelaskan bahwa hukum itu selalu tertinggal dengan masyarakat kalau itu harus dibangun oleh badan legislatif memerlukan waktu, maka Mahkamah melalui fungsi positive legislature,” kata Arief.
Baca Juga: Jubir TPN Ganjar-Mahfud: Nepotisme Makin Kental Bila Presiden Kampanyekan Anaknya
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Desy-Afrianti
Sumber : Kompas TV