Debat Cawapres: Gibran Tanya soal Carbon Capture and Storage kepada Mahfud MD, Apa Itu?
Rumah pemilu | 22 Desember 2023, 22:32 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Dalam debat cawapres 2024, calon wakil presiden nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, sempat memberi pertanyaan kepada calon wakil presiden nomor urut 3, Mahfud MD tentang Carbon Capture and Storage. Apa itu Carbon Capture and Storage?
"Ini karena Prof Mahfud adalah ahili hukum saya ingin bertanya bagaimana regulasi untuk Carbon Capture and Storage?" tanya Gibran dalam debat cawapres di Jakarta Convention Center (JCC), Jumat (22/12/2023) malam.
Mahfud lalu memaparkan bagaimana menyusun regulasi yang salah satunya diawali dengan membuat naskah akademik terlebih dahulu.
Akan tetapi, Gibran tidak puas dengan jawaban Mahfud dan kembali menanyakan tentang regulasi Carbon Capture and Storage.
Kemudian pada segmen selanjutnya, Mahfud menjelaskan, Carbon Capture and Storage itu merupakan bagian dari tema dalam debat keempat.
Lantas apa itu Carbon Capture and Storage?
Carbon Capture and Storage
Dilansir laman esdm.go.id, Carbon Capture and Storage (CCS) merupakan salah satu teknologi mitigasi pemanasan global dengan cara mengurangi emisi CO2 ke atmosfer.
Teknologi ini merupakan rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan penangkapan (capture) CO2 dari sumber emisi gas buang (flue gas), pengangkutan CO2 tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan penyimpanan ke tempat yang aman (storage).
Baca Juga: Gibran Tanya soal Carbon Capture Storage, Mahfud Jelaskan Naskah Akademik
Pemisahan dan penangkapan CO2 dilakukan dengan teknologi absorpsi yang sudah cukup lama dikenal oleh kalangan industri.
Penangkapan CO2 biasa digunakan dalam proses produksi hidrogen baik pada skala laboratorium maupun komersial.
Sementara pengangkutan dilakukan dengan menggunakan pipa atau tanker seperti pengangkut gas pada umumnya (LPG, LNG), sedangkan penyimpanan dilakukan ke dalam lapisan batuan di bawah permukaan bumi yang dapat menjadi perangkap gas hingga tidak lepas ke atmosfer, atau dapat pula diinjeksikan ke dalam laut pada kedalaman tertentu.
Menurut International Energy Agency (IEA), volume emisi CO2 akibat pembakaran bahan bakar fosil mencapai 56 persen dari total emisi global.
Persentase ini berasal dari sekitar 7500 instalasi besar peng-emisi CO2 (large stationary point sources) yang mengemisikan lebih dari 1.000.000 ton CO2 setiap tahunnya.
Kajian IEA lebih lanjut menyimpulkan, dari jumlah tersebut, pembangkit listrik batubara (PLTU) merupakan sumber emisi utama yang mencapai lebih dari 60 persen.
Selanjutnya pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) yang mencapai 11 persen dan pembangkit listrik tenaga diesen (PLTD) 7 persen. Sementara industri lain menyumbang sekitar 3-7 persen.
Dengan demikian, untuk dapat mengurangi emisi CO2 dalam jumlah besar, dinilai logis jika dilakukan pengendalian (penangkapan CO2) yang dihasilkan dalam gas buang dari pembangkit listrik.
Upaya tersebut tidak semudah yang dibayangkan mengingat gas buang tersebut pada umumnya memiliki karakteristik bertekanan rendah dan konsentrasi CO2 yang rendah juga, sehingga memerlukan proses tambahan yang membutuhkan energi cukup besar untuk pemisahannya.
Kenyataan ini menjadi tantangan yang harus diantisipasi agar dapat menciptakan proses penangkapan CO2 yang efektif dan efisien.
Walaupun secara umum teknologi CCS cukup menjanjikan untuk digunakan dalam menangani sumber emisi CO2 yang besar seperti pembangkit listrik berbahan bakar fosil atau industri besar lainnya, masih banyak hal yang perlu diselesaikan sebelum CCS dapat diterapkan secara penuh, seperti perbaikan teknologi, legalisasi dan pembiayaan.
Baca Juga: [FULL] Debat Muhaimin, Gibran, Mahfud Soal Carbon Capture Storage Hingga Pertumbuhan Ekonomi
Penulis : Rizky L Pratama Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV