Hamid Awaludin Nilai Tak Ada Motif Politik dari Pengakuan Agus Rahardjo dan Sudirman Said
Politik | 6 Desember 2023, 13:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar hukum sekaligus mantan Menteri Hukum dan HAM Abdul Hamid Awaludin menilai tak ada motif politik dari pengakuan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Periode 2015-2019 Agus Rahardjo dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2014-2016 Sudirman Said.
Sebelumnya, Agus Rahardjo mengaku pernah dimarahi Presiden Jokowi karena melanjutkan penyidikan kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik yang menyeret nama Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu, Setya Novanto.
Setelah itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2014-2016 Sudirman Said juga mengaku pernah dimarahi Jokowi karena laporkan mantan Ketua DPR Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI atas kasus "papa minta saham" atau permintaan saham PT Freeport.
"Saya tidak melihat motif politik, sama sekali tidak. Saya melihat ada kecanggihan dari seorang jurnalis yang bernama Rosiana Silalahi menemukan narasumber yang tepat segi momentum dan tepat sebagai tema, dan dia mampu mencecar pertanyaan kepada Pak Agus, lantas Pak Agus memberikan jawaban," jelas Hamid kepada jurnalis KompasTV di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
"Jadi sungguh-sungguh saya tidak melihat ada motif politik di belakang pengakuan itu. Ini adalah kepiawaian seorang jurnalis bertanya kepada Pak Agus. Karena lama dia simpan kan?" sambungnya.
Baca Juga: Pengakuan Para Pimpinan dan Penyidik KPK Dengar Cerita Agus Rahardjo Soal Intervensi Jokowi
Menurut Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin itu, pengakuan tersebut bisa disampaikan kapan saja.
"Sebuah cerita itu bisa dituturkan kapan saja, hari ini besok atau 10 tahun kemudian, terserah lah kepada siapa yang memiliki cerita itu," ujarnya.
"Jadi sekali lagi saya tidak melihat ada motif politik di belakang ini," tegasnya.
Hamid juga menekankan bahwa dirinya percaya dengan ucapan Sudirman Said dan Agus Rahardjo.
"Dengan mengetahui siapa Pak Sudirman Said. Pak Sudirman belum memiliki kecanggihan dan keterampilan menyatakan sesuatu yang tidak benar, karena prinsip beliau itu adalah kejujuran. Dia tidak terlatih menyertakan sesuatu secara tidak benar," ucapnya.
"Kalau Pak Agus, sama. Saya pernah bertemu dengan atasannya waktu dia di Bappenas, dia adalah Kepala Biro yang menangani pengadaan, dan katanya sangat jujur, dan ketika dia dipanggil oleh presiden seorang diri, dia beri tahu koleganya setelah itu kan, Alex Marwata dan Saut Situmorang."
"Kedua orang ini sama-sama lempeng, lurus. Jadi saya sangat percaya. Sama dengan percayanya saya ke Pak Agus mengemukakan sesuatu," sambungnya.
Baca Juga: Istana Tepis Tudingan Sudirman Said yang Mengaku Dimarahi Presiden karena Laporkan Setya Novanto
Menurut Hamid, ada benang merah antara pengakuan Agus Rahardjo dan Sudirman Said tersebut. Ia menyebut ada rentetan kejadian yang menunjukkan bahwa Presiden Jokowi memiliki motif untuk melindungi Setya Novanto.
Guru Besar Ilmu Hukum itu menyoroti pernyataan Setya Novanto pada tahun 2015 yang mendukung Presiden Jokowi untuk kembali menjadi presiden pada periode kedua.
Menurut dia, ucapan Setya Novanto itu membuat Presiden Jokowi gembira, karena hubungannya dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mulai menemui ganjalan.
Setya Novanto, kata dia, menyatakan dukungan kepada Jokowi, beberapa hari setelah terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar pada 17 Mei 2015.
"Beberapa hari setelah terpilih sebagai ketua umum, Setya Novanto langsung mengatakan Partai Golkar di bawah kepemimpinannya mendukung Pak Jokowi menjadi presiden periode kedua," tutur Hamid.
"Itu kan Pak Jokowi baru dua tahun menjadi presiden," sambungnya.
Baca Juga: Pengamat Politik Sebut Jokowi dan PDIP Saling Jaga Hubungan agar Tak Dinilai Zalim demi Suara Pemilu
Hamid Awaludin menilai, Presiden Jokowi senang mendengar dukungan dari Partai Golkar yang notabene partai besar di Indonesia, karena hubungannya dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri menghadapi ganjalan.
"Nah tiba-tiba ada partai besar, ingat ya Golkar itu partai besar, bukan partai pelengkap, yang mau langsung mencalonkan beliau," sambungnya.
"Selama ini partai utama beliau PDIP, tapi ada ganjalan di situ. Ya tentu saja beliau gembira," urainya.
Oleh karena rentetan kejadian tersebut, Hamid menerangkan, penilaian publik bahwa Presiden terkesan melindungi Setya Novanto, sah-sah saja.
"Kalau publik menarik benang ini ke belakang, bisa jadi memang, artinya sah-sah saja publik berkesimpulan, 'oh mungkin ada motif memang bapak presiden kita melindungi Pak Setya Novanto' dengan dua rentetan kejadian itu kan," jelasnya.
Meski demikian, Hamid menilai, pengakuan Agus Rahardjo dan Sudirman Said harus didalami lebih jauh untuk mencari tahu kebenarannya.
"Baik pengakuan Pak Sudirman Said maupun pengakuan Pak Agus Rahardjo itu adalah pengakuan sepihak, butuh pendalaman lebih jauh terutama kebenaran cerita itu," ujarnya.
"Tetapi, jangan lupa, cerita seperti ini masuk ranah politik kan? Bisa saja, para politisi membawa kasus ini ke DPR untuk interpelasi," sambungnya.
Hak interpelasi, tutur Hamid, merupakan ranah politik anggota dewan untuk bertanya kepada Presiden Jokowi terkait kebenaran pengakuan Agus Rahardjo maupun Sudirman Said.
"Kalau itu terjadi, akan riuh perpolitikan kita ini," jelasnya.
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV