MK Izinkan Kampanye Politik di Sekolah, Mahfud: Pasti Objektif dan Akademis
Politik | 22 Agustus 2023, 20:49 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, kampanye politik yang dilakukan di sekolah atau fasilitas serupa lainnya, pasti menyesuaikan dengan tema pendidikan.
Pernyataan Mahfud itu menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi yang membolehkan kampanya politik dilakukan di ruang publik seperti sekolah.
"Memang kalau tidak kampanye di ruang publik, di ruang apa? Kan memang kampanye itu kan harus di ruang publik," kata Mahfud dalam konferensi pers hasil kerja Tim Percepatan Reformasi Hukum di Jakarta, Selasa (22/8/2023).
"Kalau di sekolah dan sebagainya, itu kampanyenya sesuai dengan pendidikan, yang objektif, akademis, dan sebagainya," tambahnya.
Mengutip pemberitaan Kompas.com, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI akan segera merevisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.
Baca Juga: Korban Peristiwa 1965 yang akan Ditemui Mahfud MD di Belanda-Ceko adalah Eks Mahasiswa Ikatan Dinas
"Tentunya KPU akan menyesuaikan peraturan teknis KPU. Sebagaimana kita ketahui, putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Jadi nanti KPU akan melakukan perbaikan peraturan," kata Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik, Jumat (18/8/2023).
Saat ini, KPU masih menyadur ketentuan kampanye di dalam Pasal 280 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang melarang kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan tanpa syarat.
Pasal itulah yang belakangan direvisi MK dalam putusannya. KPU akan melibatkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan meminta masukan publik.
Setelah draf revisi rampung, sebagaimana prosedur perbaikan peraturan, KPU akan berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah sebelum mengundangkan revisinya. Namun, Idham belum bisa memberi kepastian kapan revisi itu akan dilakukan.
Sementara itu, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menganggap bahwa revisi itu diperlukan untuk mengatur lebih rinci ketentuan kampanye itu. Sebab, MK tidak merinci hal tersebut dalam putusannya.
Baca Juga: Soal MK Izinkan Kampanye di Kampus-Sekolah, Menko PMK: Banyak Tempat Lain!
"Jadi yang harus diatur misalnya fasilitas pemerintah seperti apa, apakah fasilitas pemerintah itu termasuk gedung pemerintahan seperti Istana Negara dan Balai Kota," ujar Bagja.
"Misalnya balai kota, yang kita takutkan itu digunakan oleh pak wali kotanya untuk berkampanye meski tanpa atribut," imbuhnya.
Contoh lainnya, soal batasan-batasan yang perlu diatur lebih rinci terkait kampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan. Ia memberi contoh, rapat umum partai politik bisa digelar di stadion. Namun, bagaimana apabila kampus digunakan untuk rapat umum semacam itu?
"Terbayang di kampus ada rapat umum partai, apalagi kampus negeri, boleh atau tidak? Makanya kita harus bicara ketentuan teknis detailnya," sebutnya.
Menurut Bagja, hal itu berpotensi bermasalah. Ia menyinggung potensi masalah yang akan muncul jika TK dan SD juga ditafsirkan sebagai lembaga pendidikan yang bisa digunakan sebagai tempat berkampanye.
"Lebih bagus revisi dilakukan terhadap Peraturan KPU (PKPU) supaya jelas di mana saja yang boleh dan metode apa saja yang boleh," sambungnya.
Baca Juga: Sri Mulyani Ngaku Deg-degan Saat Ungkit Janji Kampanye Jokowi di 2019
Sebagai informasi, MK mengizinkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan selama tidak menggunakan atribut kampanye.
Hal ini termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).
Dalam perkara itu, dua orang pemohon, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, menilai ada inkonsistensi aturan terkait aturan itu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Larangan kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah tercantum tanpa syarat dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h.
Namun, pada bagian Penjelasan, tercantum kelonggaran yang berbunyi,
“Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Baca Juga: Intip Momen Presiden Jokowi Disambut Meriah Tarian Suku Maasai dan Suku Msewe di Tanzania
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas.
Jika pengecualian itu diperlukan, maka seharusnya ia tidak diletakkan di bagian penjelasan.
Sebagai gantinya, pengecualian itu dimasukkan ke norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu, kecuali frasa "tempat ibadah".
"Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, '(peserta pemilu dilarang, red.) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu'," bunyi putusan itu.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa pengecualian tersebut sudah diatur sejak UU Pemilu terdahulu.
Baca Juga: Mulai 1 Januari 2024, Hanya Dua Kelompok Masyarakat Ini yang Bisa Dapat Vaksin Covid Gratis
Lantas, mengapa tempat ibadah tetap tidak diberikan pengecualian sebagai tempat kampanye meski atas undangan pengelola dan tanpa atribut kampanye?
"Larangan untuk melakukan kegiatan kampanye pemilu di tempat ibadah menjadi salah satu upaya untuk mengarahkan masyarakat menuju kondisi kehidupan politik yang ideal sesuai dengan nilai ketuhanan berdasarkan Pancasila di tengah kuatnya arus informasi dan perkembangan teknologi secara global," tulis putusan itu.
Penulis : Dina Karina Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV/Kompas.com