Sebut Konflik di Papua Tak Kunjung Usai, Megawati Soekarnoputri Sarankan Perang Psikologi
Politik | 1 Juni 2023, 20:34 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Presiden Kelima Republik Indonesia (RI) Megawati Soekarnoputri menyinggung tentang konflik di Papua saat memberikan pidato dalam peresmian Kapal Perang (KRI) Bung Karno di Dermaga Kolinlamil, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Kamis (1/6/2023).
"Sekarang, rasanya saya sedih, ini boleh dong (izin berbicara tentang, -red), lha kok urusan Papua menurut saya enggak selesai-selesai," kata Megawati.
"Jadi saya terus bingung sendiri, terus saya mikir sendiri," imbuhnya.
Ia mengaku tahu banyak tentang persoalan atau konflik di Papua yang telah terjadi sejak tahun 1969 itu.
"Saya pernah presiden, saya tahu kan, saya tahu banget, bukannya tahu saja," jelasnya.
Presiden perempuan pertama RI itu mengaku, saat masih menjadi pemimpin negara ia sering memerintahkan panglima jenderalnya untuk mencari titik terang dari persoalan di Papua.
"Kan dulu saya juga bisa, punya panglima suka saya perintah. Jadi saya lihat, ini kenapa ya? Salahnya di mana ya?" ujarnya.
"Tapi karena saya bukan apa-apa lagi ya saya diam aja. Tapi karena ini di Angkatan Laut, saya berani bicara, karena apa? Ya itu kan harus dijawab," imbuhnya.
Baca Juga: Sentil Soal Kasus Ferdy Sambo, Megawati: Polisi Maunya Bagaimana sih? Mestinya Mengayomi Rakyat
Ia pun mengingatkan para aparat keamanan negara untuk menjaga semangat juang dalam mempertahankan negara.
"Karena yang paling penting dari yang penting adalah semangat juang kita mempertahankan negara," kata anak dari Proklamator RI, Ir Soekarno, itu.
Sambil meminta izin untuk berbicara tentang penanganan konflik Papua kepada Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Laksamana Yudo Margono yang duduk di sampingnya, Megawati mengatakan, apabila dirinya masih menjabat sebagai pemimpin negara ia akan turunkan sejumlah batalyon ke Papua.
"Kalau saya masih komandan, saya turunkan di sana beberapa batalyon, gitu," terangnya.
Ia menilai rakyat Papua sebagai bangsa Indonesia yang tidak diberi pengetahuan dan terprovokasi.
"Itu (rakyat Papua -red) rakyat kita juga, tapi karena dianya enggak diberi pengetahuan, terprovokasi," jelasnya.
Megawati mengaku pernah berdiskusi dengan jenderal polisi untuk menangani konflik di Papua.
Menurut dia, pemerintah bisa menggerakkan beberapa batalyon TNI untuk datang ke Papua guna melihat kondisi di lapangan.
"Kalau menurut saya, kalau sekian batalyon ditaruh, itu kan juga bisa melihat lapangan," terangnya.
Selain itu, Megawati juga menyebut, penempatan sejumlah batalyon itu juga merupakan bentuk dari perang psikologi dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
"Terus (kemudian) latihan di daerah yang aman. Tapi kan kedengaran bagi mereka (KKB -red), yakin itu apa namanya? Perang psikologi," imbuhnya.
"Jadi bukan perang fisik saja. Saya tahu, lha karena saya diajari bapak saya juga," imbuhnya.
Baca Juga: Hadiri Peresmian Kapal Perang Bung Karno-369, Megawati: Kira-Kira Berapa Lagi yang Mau Dibuat?
Sebagai informasi, konflik di Papua terjadi sejak tahun 1969 hingga saat ini. Ada sejumlah inisiatif pembangunan yang dilakukan pemerintah, termasuk otonomi khusus, pemekaran, dan infrastruktur. Namun, konflik di Papua terus terjadi dan cenderung semakin berkembang.
Melansir dari tulisan dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia di Kompas.id, ada empat akar masalah di Papua yang harus diselesaikan pemerintah, mulai dari marjinalisasi, kegagalan pembangunan, sejarah integrasi, hingga kekerasan negara dan pelanggaran HAM (LIPI, 2009).
Konflik Papua sering dikaitkan dengan faktor historis integrasi Irian Barat ke Indonesia. Hal ini sejalan dengan studi yang menyebut konflik Papua dipengaruhi beberapa hal, salah satunya Papua Barat sebagai bagian dari koloni Belanda dan hubungannya dengan Indonesia serta Pepera 1969 (Viartasiwi, 2018) hingga kegagalan dekolonisasi (Chauvel, 2004). Ini menunjukkan bahwa konflik Papua bermula dan langgeng akibat perseteruan negara melawan separatis yang tak kunjung usai.
Namun, konflik Papua tak melulu antara pemerintah dan kelompok separatis. Faktanya, konflik juga terjadi antarsesama orang asli Papua (OAP) dan sesama warga negara (OAP melawan non-OAP) (Indonesia, 2022).
Kajian Gugus Tugas Papua UGM (2022) menunjukkan bahwa konflik Papua didorong oleh empat motif dominan.
Pertama, motif sejarah yang menyangkut aspirasi kemerdekaan. Sebagian besar konflik kekerasan di Papua berkaitan erat dengan kekerasan, represivitas, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan sejarah integrasi ke Indonesia (Meteray dan Wabiser, 2020).
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Hariyanto-Kurniawan
Sumber : Kompas TV