Pemerintah Dinilai Melakukan Pelanggaran HAM dalam Kasus Gangguan Ginjal Akut yang Menyerang Anak
Hukum | 12 Maret 2023, 06:20 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Komnas HAM menemukan pelanggaran HAM dalam kasus gangguan ginjal misterius atau gangguan ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) pada anak di Indonesia.
Dalam temuan Komnas HAM ada delapan pelanggaran HAM yang dilakukan pemerintah dalam penanganan kasus GGAPA pada anak.
Yakni pelanggaran hak untuk hidup, hak atas kesehatan, hak anak, hak memperoleh keadilan, hak atas kesejahteraan, yakni hak atas pekerjaan dan hak atas jaminan sosial.
Kemudian hak atas informasi, hak konsumen serta pelanggaran terhadap prinsip bisnis dan hak asasi manusia.
Baca Juga: 8 Unsur Pelanggaran HAM dalam Kasus Gagal Ginjal Anak
Komisioner Komnas HAM, Hari Kurniawan menjelaskan temuan delapan pelanggaran HAM dalam kasus gagal ginjal akut ini merupakan hasil pemantauan dan penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM.
Beberapa temuan faktual pemantauan dan penyelidikan tersebut yakni, GGAPA yang terjadi pada anak di Indonesia disebabkan keracunan senyawa EG/DEG dalam produk obat sirop.
Kurang dan lambatnya informasi publik terkait munculnya kasus GGAPA, proses identifikasi penyebab GGAPA tidak dilakukan secara efektif.
"Kebijakan dan tindakan surveilans kesehatan yang dilakukan pemerintah tidak efektif dalam menemukan faktor penyebab kasus GGAPA. Sehingga tidak dapat meminimalisir atau mencegah lonjakan kasus, serta jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak," ujar Hari saat konferensi pers di kantor Komnas HAM RI, Sabtu (11/3/2023).
Baca Juga: Pemerintah Akui Pelanggaran HAM Masa Lalu, DPR: Siapa Pun yang Memerintah Wajib Selesaikan
Selanjutnya temuan faktual yang didapat yakni proses pengawasan sistem kefarmasian atau produksi dan distribusi obat tidak dilakukan secara efektif.
Koordinasi yang buruk antar lembaga otoritatif dan industri dalam sistem pelayanan kesehatan dan kefarmasian.
Selanjutnya adanya hambatan dalam proses penegakan hukum, penanganan terhadap korban dan pemulihan keluarga korban yang tidak maksimal serta adanya Permasalahan regulasi dan tata kelola kelembagaan.
"Tata kelola kelembagaan dan koordinasi antar instansi pemerintah yang memiliki otoritas dalam pelayanan kesehatan dan pengawasan obat dalam penanganan kasus GGAPA tidak efektif dan belum maksimal serta tidak memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak," ujar Hari.
Rekomendasi Komnas HAM
Hari menambahkan dari temuan dan kesimpulan terkait kasus gangguan ginjal akan Komnas HAM memberikan sejumlah rekomendasi untuk pemajuan, perlindungan dan penegakan HAM serta memastikan peristiwa serupa tidak terulang kembali.
Di antaranya, memastikan penanganan dan pemulihan bagi korban (penyintas) secara komprehensif dalam rangka menjamin terpenuhinya standar kesehatan tertinggi.
Baca Juga: Gagal Ginjal Akut Anak Kembali Telan Korban, Produksi dan Distribusi Obat Praxion Dihentikan
Melalui pelayanan kesehatan dan jaminan kesehatan bagi korban sebagaimana telah diamanatkan dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Memastikan penanganan dan pemulihan terhadap keluarga korban yang mengalami dampak psikologis (trauma), dan dampak sosial ekonomi lainnya yang diakibatkan dari peristiwa yang telah menghilangkan setidaknya 204 nyawa anak di Indonesia.
"Penanganan dan pemulihan korban dan keluarga korban dapat dilakukan dengan memberikan akses terhadap rehabilitasi dan kompensasi secara cepat dan jangka panjang sesuai dengan peraturan perundang-undangan," ujar Hari.
Kemudian terkait penguatan Regulasi dan tata kelola kelembagaan pemerintah perlu melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait sistem tata kelola pelayanan kesehatan dan kefarmasian, terutama berkaitan dengan surveilans kesehatan dan sistem pengawasan.
Baca Juga: Gagal Ginjal Anak Muncul lagi, Ini Tips Deteksi Dini bagi Orang Tua dari Dinkes DKI Jakarta
Mengingat kompleksitas tantangan persoalan kesehatan dan besarnya tanggung jawab dalam pengawasan obat dan makanan di Indonesia, maka diperlukan pengaturan secara khusus melalui Undang-Undang terhadap mandat dan kewenangan BPOM RI.
"Perlu adanya regulasi yang secara khusus mengatur tentang sistem kefarmasian di Indonesia atau RUU Kefarmasian," ujar Hari.
Kemudian perlu dilakukan perubahan terhadap peraturan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular terutama terkait penetapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) dalam permasalahan kesehatan.
"Salah satu substansi penting yaitu belum adanya pengaturan terkait kondisi darurat kesehatan yang diakibatkan oleh penyakit tidak menular sebagai KLB," ujar Hari.
Rekomendasi bagi kepolisian yakni mengingat keseluruhan korban dalam perkara tersebut adalah anak dan produk obat yang spesifik ditujukan kepada konsumen anak, maka penegak hukum perlu mempertimbangkan penerapan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlindungan terhadap anak dalam perkara tersebut.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV