> >

MK Telah Tangani 27 Gugatan Presidential Treshold, 5 Ditolak dan Lainnya Tak Dapat Diterima

Rumah pemilu | 28 Februari 2023, 14:50 WIB
Hakim MK Saldi Isra. MK telah menangani 27 gugatan terkait uji materi terkait Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur presidential treshold. (Sumber: Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado)

JAKARTA, KOMPAS.TV  - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menangani 27 gugatan terkait uji materi terkait Pasal 222 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur soal ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden (presidential threshold).

Terkini, MK telah memutuskan gugatan untuk norma yang sama pada Selasa (28/2/2023), yakni perkara nomor 4/PUU-XXI/2023, dengan putusan menolak.

Salah satu pertimbangannya, MK menyinggung soal banyaknya uji materi terkait beleid ini, dan sampai kini belum berubah pikiran.

"Sampai sejauh ini, norma dimaksud pernah diuji konstitusionalitasnya sebanyak 27 permohonan yang telah diputus oleh Mahkamah," kata hakim konstitusi Saldi Isra dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 4/PUU-XXI/2023, Selasa siang, dikutip Kompas.com.

Baca Juga: Pengamat: PDIP Punya 'Tiket Emas' Presidential Threshold, Berpeluang Umumkan Capres di Injury Time

Menurutnya, dari 27 perkara yang te;ah diputuskan, MK memutuskan untuk menolak lima perkara di antaranya, sedangkan perkara lain dinyatakan tidak dapat diterima.

"Dari kesemua putusan tersebut, terdapat 5 putusan yang amar putusannya menolak permohonan pemohon, sedangkan putusan-putusan lainnya dinyatakan tidak dapat diterima," tambahnya.

Merujuk dari semua putusan itu, pada intinya MK berpendirian bahwa presidential threshold 20 persen dari kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional adalah konstitusional, meskipun terdapat hakim konstitusi yang berpendapat lain (dissenting opinion).

Terbaru, gugatan uji materi soal presidential threshold diajukan oleh Ketua Umum Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) Gede Pasek Suardika.

Dalam gugatan tersebut, ambang batas pencalonan presiden-wakil presiden yang dianggap diskriminatif, dan berharap agar pasal itu dinyatakan inkonstitusional sehingga partai politik pendatang baru dalam pemilu bisa turut mencalonkan presiden-wakil presiden.

Dalam permohonan nomor 16/PUU-XXI/2023 itu, Pasek mempersoalkan hilangnya hak konstitusional partai politik untuk mencalonkan presiden-wakil presiden karena kini pilpres dan pileg digelar bersamaan, tidak seperti dulu yang dihelat di tahun yang sama namun pileg digelar lebih dulu.

"Bahwa jika menggunakan cara pemilihan sebelumnya yang tidak serentak, maka akan terjadi kesetaraan dalam berdemokrasi,” jelasnya dalam permohonan tersebut.

“Pemilu legislatif terlebih dahulu dan hasil pemilu dari aspirasi rakyat itu kemudian dijadikan dasar bagi pengajuan calon presiden dan wakil presiden.”

Dengan demikian, lanjut dia, seluruh partai politik peserta pemilu akan mendapatkan kesempatan dan hak konstitusional yang sama untuk mengusung calon presiden dan calon wakil presiden, baik berdasarkan alokasi perolehan kursi ataupun alokasi suara sah.

Saat ini, peserta Pemilu 2024 sudah ditentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 14 Desember 2022.

Menurutnya, jika pileg dan pilpres tidak diselenggarakan pada hari yang sama, yakni pelaksanaan pileg digelar lebih dulu, maka partai-partai politik peserta Pemilu 2024 dapat turut mencalonkan presiden-wakil presiden.

Baca Juga: Pendapat Akademikus UI: Safari Politik Parpol saat Ini Merupakan Dampak Presidential Threshold

Namun, imbas keserentakan pileg dan pilpres, partai-partai politik yang dapat mencalonkan presiden-wakil presiden adalah peserta Pemilu 2019, sedangkan partai-partai pendatang baru di Pemilu 2024 yakni Partai Buruh, PKN, Gelora, dan Ummat tidak bisa.

Masalah lainnya, Partai Kesatuan dan Persatuan (PKP) dan Partai Berkarya yang pada 2019 tercatat sebagai peserta Pemilu 2019 kini tak lolos sebagai peserta Pemilu 2024.

Namun, imbas UU Pemilu dan keserentakan pileg-pilpres, PKP dan Berkarya tetap berhak mencalonkan presiden-wakil presiden untuk 2024.

"Sehingga prosentase suara sah yang akan dipakai di Pemilu 2024 tidak bisa dihitung utuh lagi menjadi 100 persen dari suara sah yang ada berdasarkan hasil Pemilu 2019, tetapi sudah berkurang dari 100 persen. Sehingga, perhitungan prosentase berbasiskan suara sah sudah tidak sempurna lagi dan cacat," jelas Pasek.

Maka, menurut Pasek, ada kekosongan norma yang berdampak hilangnya hak konstitusional sebagian partai politik peserta pemilu yang sah.

Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Purwanto

Sumber : Kompas.com


TERBARU