Soal Pelanggaran HAM Berat, Mahfud Ungkap Alasan Pemerintah Fokus ke Korban Bukan Pelaku
Hukum | 15 Januari 2023, 19:16 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkap alasan pemerintah memilih fokus pada pemulihan korban pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu ketimbang pelaku.
Sebelumnya, pemerintah telah mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Mahfud menyebut saat ini pemerintah tengah fokus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu melalui jalur non-yudisial atau tanpa melalui jalur hukum.
"Sebagai langkah baru sudah dimulai untuk memperhatikan dan merehabilitasi hak korban," kata Mahfud dalam Kompas Petang Kompas TV, Minggu (15/1/2023).
"Ini korban yang jadi fokus kita, bukan pelaku."
Menurutnya, penyelesaian secara yudisial atau melalui jalur hukum, menghadapi tantangan yang belum menemui titik terang.
"Karena kalau bicara soal pelaku, amat sangat sulit, dan itu hanya bisa pengadilan yang memutuskan," tegasnya.
"Faktanya ada tetapi buktinya tidak ada, sehingga semua yang diajukan oleh pengadilan dikalahkan semua."
Sehingga untuk saat ini, kata Mahfud, pemerintah berfokus lebih dulu pada penyelesaian non-yudisial yakni merehabilitasi para korban.
"Kita cari korbannya dan kita merehabilitasi kerusakannya, apakah itu kerusakan mental, ekonomi, maupun politis."
Baca Juga: PBB Sambut Baik Pengakuan Presiden Joko Widodo atas Pelanggaran HAM, Desak Langkah Nyata bagi Korban
Mahfud kemudian memberikan salah satu contoh penyelesaian non-yudisial yang dilakukan pemerintah untuk memberikan keadilan bagi korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
"Misalnya korban, yakni keturunan dari peristiwa PKI kan banyak yang menjadi korban seperti dipecat, tidak boleh bekerja dan sebagainya lalu mengalami penderitaan yang berkepanjangan, ya kita selesaikan, berikan hak-hak politiknya, itu sudah dimulai sebenarnya." ujarnya.
Menurut penjelasannya, pemerintah bakal menyelesaikan atau merehabilitasi korban pelanggaran HAM berat masa lalu melalui penugasan kepada beberapa kementerian terkait.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia.
Hal ini disampaikan Presiden setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” kata Jokowi.
Jokowi mengaku menyesalkan terjadinya beberapa pelanggaran HAM berat di tanah air dalam berbagai peristiwa.
"Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban oleh karena itu yang pertama, saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial," ujarnya.
Berikut 12 peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui Jokowi terjadi di Indonesia:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena, Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Baca Juga: Pemerintah Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, SETARA Sesalkan Tidak Ada Pengungkapan Kebenaran
Penulis : Isnaya Helmi Editor : Edy-A.-Putra
Sumber : Kompas TV