> >

Tragedi Talangsari, Kekerasan Aparat atas Nama Doktrin Asas Tunggal Pancasila, 130 Nyawa Melayang

Peristiwa | 13 Januari 2023, 06:30 WIB
Diskusi Tragedi Talangsari oleh Kontras. (Sumber:Kontras-)

Sebagai tindak lanjut, pada 6 Februari 1989, melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika) dipimpin oleh Kapten Soetiman, Warsidi dan pengikutnya dimintai keterangan.

Rombongan dari Kantor Camat Way Jepara berangkat menuju kompleks kediaman Anwar, salah satu pengikut Warsidi. Rombongan yang berangkat berjumlah sekitar 20 orang, dipimpin oleh Kepala Staf Kodim Lampung Tengah May Sinaga, termasuk Kapten Soetiman.

Sesaat setelah Kapten Soetiman sampai di sana, ia langsung dihujani panah dan perlawanan golok.

Dalam bentrokan ini, Kapten Soetiman tewas. Tewasnya Kapten Soetiman lantas membuat Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono bertindak keras melawan Warsidi. 

Tak tanggung-tanggung, pada 7 Februari 1989, tiga peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu Cihideung, pusat gerakan.

Dalam tempo singkat, menjelang subuh, keadaan di lokasi sudah berhasil dikuasai oleh aparat, yang mengepung dan menyerbu perkampungan dengan posisi tapal kuda. Terjadi penyiksaan terhadap masyarakat dan pembakaran rumah dan pondok. Jemaah yang masih selamat kemudian dipenjara. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi berhasil ditangkap. 

Dua belas tahun kemudian, pada 23 Februari 2001, tim penyelidikan dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999. Komnas HAM pun turun ke lapangan pada Juni 2005, dan menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat.

Setelah Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan, berkas diserahkan ke Kejaksaan Agung. Namun, laporan tersebut ditolak oleh Kejaksaan Agung karena dianggap kurang ada bukti formil dan materiil. 

Setelah lama tak terdengar, saat hiruk pikuk jelang Pilpres, 20 Februari 2019, terjadi deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penangan Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. 

Deklarasi ini dilakukan di Dusun Talangsari, Lampung Timur, dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu. Isi dari deklarasi tersebut adalah agar korban Talangsari tidak lagi mengungkap kasus tersebut karena telah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung. 

Baca Juga: Mahfud MD Bahas Pelanggaran HAM Berat 1965 dengan Kiai dan PBNU, Upayakan Pemulihan Hak Korban

Namun, banyak korban masyarakat sipil yang menolak. Alasanya, kompensasi yang diberikan bukan kompensasi khusus untuk orang-orang yang menjadi korban dalam Peristiwa Talangsari. Korban yang ada dalam Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian Talangsari Lampung didampingi oleh Kontras dan Amnesty International Indonesia melaporkan perihal deklarasi tersebut pada Ombudsman Republik Indonesia. 

Hasilnya, 13 Desember 2019, Ombudsman mengumumkan bahwa deklarasi damai Talangsari dinyatakan maladministrasi. Dengan demikian, para korban Talangsari masih harus berjuang memperoleh haknya.

 

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU