Pemerintah Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, SETARA Sesalkan Tidak Ada Pengungkapan Kebenaran
Peristiwa | 12 Januari 2023, 16:25 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - SETARA Institute menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Berat masa lalu yang dianalisis oleh Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (Tim PPHAM).
Adapun yang dimaksud adalah perihal pengungkapan aktor di balik 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah diakui Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"SETARA Institute menyesalkan ketiadaan pengungkapan kebenaran secara spesifik perihal siapa-siapa aktor di balik 12 kasus yang telah dianalisis oleh Tim PPHAM," bunyi pernyataan SETARA dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/1/2023).
Hal tersebut, menurutnya, persis dan konsisten dengan yang telah disampaikan oleh Kemenkopolhukam bahwa Tim PPHAM memang tidak mencari siapa yang salah, namun lebih kepada menyantuni dan menangani korban untuk dilakukan pemulihan.
"Fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial," jelasnya.
Padahal, menurut SETARA, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial.
"Ada lompatan logika (logical jumping) yang dipraktikkan oleh pemerintah, yaitu mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran namun telah mengambil jalur non-yudisial sebagai mekanisme penyelesaian yang justru semakin berpotensi pada pengukuhan impunitas," tegasnya.
Melihat hal itu, SETARA berpandangan bahwa cara kerja Tim PPHAM sengaja didesain untuk melahirkan aneka kontradiksi dan paradoks dalam diskursus dan gerakan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM Berat masa lalu.
"Sekalipun berkali-kali Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa jalur yudisial tetap terbuka, tetapi dengan keputusan politik presiden yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban, maka keputusan Presiden Jokowi akan menjadi referensi dan preseden sikap lanjutan bagi Jokowi pada dua tahun terakhir kepemimpinannya atau bagi presiden selanjutnya," jelas SETARA.
Di sinilah, lanjut SETARA, kecerdikan Jokowi merespons isu politik penyelesaian pelanggaran HAM.
Di satu sisi, berhasil memetik insentif politik sebagai pemecah kebekuan; tapi di sisi lain, juga dicatat sebagai presiden yang berhasil menutup ruang bagi kerja lanjutan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui jalur yudisial.
Baca Juga: Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat, SETARA: Tak Penuhi Tuntutan Keadilan
Sementara terkait pengakuan dan penyesalan Jokowi terhadap pelanggaran HAM berat pada 12 peristiwa di masa lalu, SETARA menilai itu hanya bagian dari aksesori politik kepemimpinannya dalam memenuhi janji kampanye saat hendak mencalonkan diri sebagai presiden di 2014 lalu.
Sebagai aksesori, pengakuan dan penyesalan itu dinilai SETARA hanya akan memberikan dampak politik bagi presiden tetapi tidak memenuhi tuntutan keadilan sebagaimana digariskan oleh UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM.
Diberitakan sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui secara resmi terjadinya berbagai peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu.
Presiden mengakui adanya pelanggaran HAM setelah menerima laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (11/1/2023).
“Saya telah membaca dengan seksama laporan dari Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat yang dibentuk berdasarkan keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022,” katanya.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” katanya.
Ketika mengakui hal tersebut, Jokowi mengaku menyesalkan adanya beberapa pelanggaran HAM berat di Tanah Air dalam berbagai peristiwa. Sang presiden pun mengaku memberikan simpati dan empati yang mendalam terhadap korban dan keluarga korban.
Berikut peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang diakui Jokowi terjadi di Indonesia:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis, Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi I - II 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA, Aceh 1999
- Peristiwa Wasior, Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena, Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok, Aceh 2003.
Baca Juga: Jokowi Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Amnesty: Tanpa Pertanggungjawaban Hukum, Tiada Artinya
Penulis : Isnaya Helmi Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV