Epidemiolog Ungkap Penyebab Covid-19 Mengganas di Jepang dan China: Durasi dan Cakupan Vaksinasi
Kesehatan | 28 Desember 2022, 22:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Epidemiolog Dicky Budiman mengungkapkan penyebab terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Jepang dan China atau Tiongkok belakangan ini.
Menurut Dicky, ada perbedaan penyebab lonjakan infeksi virus Corona di dua negara Asia itu. Di Tiongkok, kata dia, terjadi penurunan imun masyarakat karena durasi vaksin primer yang sudah lebih dari enam bulan.
"Kalau bicara China, kondisi satu negara yang vaksinasi primernya sudah bagus, tapi kalau bicara durasinya, kita tahu kalau itu sudah lebih dari 5-6 bulan lalu. Meskipun cakupan vaksinasi primernya bagus, tapi mengalami penurunan (kekebalan -red)," jelas Dicky kepada KOMPAS.TV, Rabu (28/12/2022).
Selain durasi waktu vaksinasi yang sudah cukup lama, ia menilai, cakupan vaksinasi booster bagi lansia di Negeri Tirai Bambu itu juga belum merata.
"Permasalahan lain di China, ternyata pada populasi rawan seperti lansia, itu cakupan vaksinasi yang kaitannya dengan booster yang belum lengkap ini juga sangat besar, hampir 130 jutaan," jelasnya.
Baca Juga: Ada Lonjakan Kasus Covid-19 di China, Epidemiolog Ingatkan Indonesia Waspadai Potensi Mutasi Virus
"Dan ada 40 juta penduduk lansia China yang sama sekali belum divaksin. Nah, ini yang membuat kenapa lonjakan ini begitu besar dan membebani faskes," imbuhnya.
Ia menyebut, dalam waktu yang relatif bersamaan, kematian akibat Covid-19 di Tiongkok didominasi oleh kelompok lansia.
Sebaliknya, di Jepang, kata dia, vaksinasi Covid-19 untuk anak-anak masih menjadi pekerjaan rumah (PR).
Kandidat doktoral di Griffith University, Australia itu mengatakan, ilmuwan masih terus mengamati kondisi pandemi di Negeri Sakura itu.
"Jepang ini sebenarnya dari cakupan booster sudah bagus, di semua kelompok juga bagus. Tapi bicara anak, ini yang masih jadi PR. Bukan hanya Jepang, tapi juga dunia, karena relatif terlambat dalam proteksi," terangnya.
"Selain itu, tentu kita harus amati sirkulasi dari subvarian ini apa saja, yang beredar ini seperti apa karakternya," lanjut dia.
Ia pun menyarankan agar pemerintah melakukan skrining terhadap orang-orang dari luar negeri yang ingin datang ke Indonesia.
Baca Juga: Covid-19 Mengganas di Jepang dan China, Pemerintah Indonesia Masih Monitor Perkembangan Kasus
Apalagi, kata Dicky, arus lalu lintas antara Indonesia dengan China dan Jepang sangat aktif. Kondisi tersebut, menurut dia, membutuhkan mitigasi. Pelancong dari negara-negara tesebut sebaiknya memenuhi kriteria orang yang memang sudah booster, tidak bergejala, dan menjalani tes PCR.
"Walaupun ini (skrining) juga tidak memastikan bahwa tidak ada dampak adanya subvarian-subvarian baru dari China, tapi setidaknya ini memberikan kita keleluasaan waktu untuk mempersiapkan diri," jelasnya.
Selain itu, ia menyarankan agar pemerintah memberlakukan aturan bagi pendatang dari luar negeri untuk isolasi setidaknya selama tiga hari setibanya mereka di Indonesia.
"Setidaknya tiga hari di hotel atau tempat yang ditunjuk itu dia tidak menunjukkan gejala," terang laki-laki yang sedang menempuh studi doktoral di Griffith University, Australia itu.
Menurut Dicky, pemerintah tak perlu menutup perbatasan atau melarang orang untuk datang ke Indonesia. Namun, ia menyarankan pemerintah Indonesia memperkuat mitigasi dengan cara skrining.
Baca Juga: Covid-19 Menggila, Jepang Catat Rekor 438 Kematian Harian, Infeksi Tembus 200 Ribu Kasus
Ia juga menyarankan pemerintah memberi imbauan agar masyarakat Indonesia tidak melakukan perjalanan ke Negara Tirai Bambu itu hingga bulan-bulan awal pada tahun 2023 mendatang.
"Kalau saya sih menyarankan jangan dulu ke China sampai setidaknya awal atau pertengahan Februari," jelasnya.
Baca Juga: Covid-19 di Jepang Tembus 1 Juta dalam Sepekan, Indonesia Tempati Urutan ke-28 Dunia
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV