> >

Kisah Haji Agus Salim, Pahlawan Nasional Pendiri Republik yang Ngontrak dan Berpindah-pindah Rumah

Sosok | 11 Desember 2022, 06:00 WIB

Agus Salim dan Soekarno sedang berbincang saat masih dalam tahanan Belanda tahun 1949. (Sumber:Tropenmuseum)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Nama Haji Agus Salim identik dengan kepiawaian dalam berdiplomasi dan berargumen. Namun, pendiri republik ini juga dikenal dengan kesederhanaannya. Begitu sederhananya, sampai-sampai Salim tidak sanggup membeli rumah layak.

Dalam perjalanan hidupnya, lelaki yang mendapat julukan "The Grand Old Man" karena kefasihan dalam berdiplomasi itu, selalu berpindah-pindaah rumah untuk ngontrak.

Mohammad Roem, sahabat sekaligus "anak didik" Salim, pernah menuliskan kenangan pada Salim dalam sebuah catatan berjudul "Haji Agus Salim" yang termaktub dalam buku " Seratus Tahun Haji Agus Salim" (Pustaka Sinar Harapan, 1996). Pada suatu kesempatan di tahun 1925, Roem dan beberapa sahabat sengaja bertandang ke rumah Agus Salim di Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Mereka pergi memakai sepeda.

Baca Juga: Kiprah Paku Alam VIII, Raja Kadipaten Pakualaman yang Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional 2022

Sampai Stasiun Senen, jalan sudah diaspal, tetapi seterusnya masih tanah dan banyak berlubang. "Melalui jalan itu dengan sepeda seperti duduk di perahu di atas air yang berombak," kata Roem. Tanah Tinggi masih kampung yang becek.

Setelah dari Tanah Tinggi, Agus Salim kemudian pindah ke Gang Toapekong, dekat kawasan Pintu Besi, tak jauh dari Gereja Ayam.

"Meski rumahnya tidak kurang besar dari rumah di Gang Tanah Tinggi, tetapi jauh kurang baik," kata Roem. Hanya ada  meja dan kursi di luar, namun di dalam rumah hampir-hampir kosong. Sehingga saat Roem datang, diterima di atas tikar.

Roem sendiri segan untuk bertanya soal kepindahan rumah ini. "Tidak sempat memikirkan perasaan kasihan dengan keadaan keluarga Haji Agus Salim yang hidup dalam keadaan kekurangan," lanjutnya.

Setelah tinggal selama beberapa bulan di Gang Toapekong, keluarga Agus Salim kemudian pindah lagi ke Meester Cornelis (sekarang Jatinegara). Rumah ini tampak lebih bagus dan lebih besar. Namun, semua keluarga hanya menempati satu kamar saja. Sebab, selebihnya diisi kopor-kopor bertumpuk di pinggir ruangan dan beberapa kasur digulung, sedangkan di tengah ada ruangan yang bebas untuk duduk-duduk dan menerima tamu.

Setelah beberapa bulan tinggal di Jatinegara, kemudian pindah lagi ke Bogor, di sekolah swasta yang dibina oleh Sarekat Islam. Di situ pun satu keluarga mendapat satu ruangan yang keadaanya lebih buruk dari ruangan di rumah Jatinegara.

Padahal, sosok Agus Salim kala itu, sudah sangat dikenal sebagai tokoh pergerakan dan pemimpin Sarekat Islam. Banyak tokoh berguru padanya, termasuk Presiden Soekarno. 

Pada tahun-tahun sebelum kemerdekaan, dia juga dikenal sebagai pemimpin Harian Hindia Baroe, yang juga dimiliki oleh orang Belanda yang punya pikiran maju tentang negeri jajahan. 

Bahkan, kaum elit Belanda kala itu sudah mengenal Agus Salim dengan pemikiran-pemikirannya dan sepak terjang politiknya. 

Namun, ada satu hal yang dikenang Roem ketika berkunjung ke rumah kontrakan Agus Salim, yakni suasana ceria dan gembira seluruh anggota keluarga. "Kami mendapatkan diri dalam suasana gembira, anak-anak yang kami sudah kenal sedang bersenda gurau," kenang Roem.

Tidak mengherankan, bila Prof William Schermerhorn, salah seorang pemimpin delegasi Belanda dalam perundingan Linggarjati, memiliki penilaian khusus tentang sosok Haji Agus Salim. 

Menurut dia, Agus Salim adalah sosok orang yang sangat pandai, jenius dan menguasai sembilan bahasa. Tapi dia punya satu kelemahan, "yaitu selama hidupnya melarat," tulis Prof Schermerhorn dalam catatan hariannya, Senin malam 1 Oktober 1946.

Baca Juga: PDIP Minta Jokowi Belajar dari Gusdur untuk Sampaikan Maaf Negara bagi Soekarno dan Keluarga

Agus Salim, kelahiran Koto Gadang, Sumatera Barat 8 Oktober 1884 itu, wafat di Jakarta 4 November 1954. Dia dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah pada 27 Desember 1961 melalui Keputusan Presiden Indonesia Nomor 657 tahun 1961.

  

 

Penulis : Iman Firdaus Editor : Vyara-Lestari

Sumber : Kompas TV


TERBARU