Saat Kepala BPOM Sebut Kemendag dan Kemenkes Juga Perlu Evaluasi Soal Kasus Gagal Ginjal Akut
Kesehatan | 28 Oktober 2022, 06:44 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV- Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K. Lukito mengatakan, pihaknya tidak memegang kendali terkait dengan proses persetujuan pemasukan bahan propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG) yang diimpor oleh perusahaan farmasi.
Hal itu terkait dengan kecurigaan BPOM terhadap dua perusahaan farmasi, yang menyalahgunakan penggunaan bahan baku obat sirop karena ditemukan konsentrasi etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang tinggi.
“Kami mengidentifikasi bahwa BPOM tidak mengendalikan pemasukan. Dan ini sudah saya laporkan ke Pak Presiden dan sudah di-follow up (ditindaklanjuti) kembali bersama lintas sektor terkait untuk ke depan pemasukan dari bahan pelarut ini harus ada dalam SKI-nya BPOM,” kata Penny saat konferensi pers di Jakarta, seperti dikutip dari Antara, Kamis (27/10/2022).
Ia menjelaskan, propilen glikol (PG) merupakan zat kimia yang tidak berbahaya ketika penggunaannya masih dalam batas toleransi. Zat berbahaya muncul ketika PG yang digunakan untuk mengencerkan obat sirop bereaksi secara kimia hingga menghasilkan EG dan DEG.
Bahan PG termasuk komoditas nonlarangan dan pembatasan (nonlartas) sehingga tata niaganya dapat dilakukan importir umum tanpa surat keterangan impor (SKI) yang dikeluarkan BPOM.
Baca Juga: BPOM Rilis Tambahan 65 Obat Sirop Aman Dikonsumsi, Ini Daftarnya
“Masuknya ke Kementerian Perdagangan, sama-sama dengan bahan kimia yang non-pharmaceutical grade lainnya sehingga BPOM tidak bisa melakukan verifikasi terkait hal tersebut. Dan bisa saja terjadi tumpang tindih di pedagang kimianya, supplier kimianya, jadi campur aduk di sana,” jelasnya.
Dia menekankan bahwa bahan kimia yang diimpor untuk pembuatan obat seharusnya masuk dalam kategori pharmaceutical grade, yang mengharuskan pemurnian tinggi sehingga cemaran bisa hilang dari pelarut PG dan PEG.
Penny mengakui jika PG dan PEG yang tidak pharmaceutical grade ini harganya memang lebih murah, dibanding yang pharmaceutical grade.
“Tapi kalau dia tidak pharmaceutical grade, kita tidak pernah tahu berapa konsentrasi dari pencemar-pencemar yang ada. Perbedaan harga yang sangat tinggi inilah yang bisa membuat penggunaan yang ilegal bisa terjadi. Ini yang akan terus kami telusuri,” ungkapnya.
Menurut Penny, bahan PG dan PEG impor yang masuk ke industri farmasi dalam negeri seharusnya dipisahkan dengan bahan PG dan PEG yang digunakan oleh industri non-farmasi.
Baca Juga: Menko PMK Gandeng Kemendag & Kemenperin Akan Verifikasi Ulang Soal Obat Sirop!
Ia menegaskan bahan kimia impor lainnya yang masuk dalam kategori pharmaceutical grade selama ini sudah melewati proses perizinan melalui SKI BPOM.
“Tapi bahan baku yang lain sudah masuk pharmaceutical grade. Bahan baku yang pharmaceutical grade itu bisa masuk melalui SKI BPOM. Hanya ini (PG dan PEG, red.) belum,” tambahnya.
Dengan terjadinya kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal yang diduga terkait dengan cemaran pelarut obat sirop, menjadi bahan perbaikan proses pemasukan bahan kimia yang diimpor sehingga BPOM bisa mengawal pembuatan produk obat sejak awal.
Dia mengingatkan bahwa sistem jaminan keamanan, mutu, dan khasiat dari produk obat dan makanan merupakan sistem yang terdiri atas berbagai pihak sehingga tidak hanya BPOM di dalamnya. Namun termasuk juga industri farmasi serta kementerian/lembaga lain yang terkait.
“Dalam proses standarisasi, persyaratan, kebijakan, itu tidak hanya BPOM. Ada kementerian lain yang terkait. Jadi marilah kita bersama-sama melihat hal ini dengan transparan, dengan pikiran yang terbuka sehingga tidak saling menyalahkan,” ujarnya.
Baca Juga: Ombudsman Duga Ada Maladministrasi Kemenkes dan BPOM dalam Kasus Gagal Ginjal Akut Anak
Terkait dengan temuan cemaran EG dan DEG dalam obat sirop, ia juga mendorong Kementerian Kesehatan merevisi dokumen Famakope Indonesia.
Menurut dia, sejauh ini belum ada standar internasional terkait dengan standar dan batasan cemaran EG dan DEG dalam produk jadi obat. Aturan yang berlaku selama ini baru membatasi cemaran untuk bahan baku.
“Dengan adanya pengalaman kita ini, ke depan kami akan meminta Kemenkes untuk merevisi dokumen Farmakope Indonesia sehingga mencantumkan juga ketentuan cemaran-cemaran. Ini sangat penting sekali perubahan ini, merevisi Farmakope, dengan demikian BPOM bisa melakukan pengawasan cemaran pada produknya,” tandasnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi IX DPR RI Charles Honoris mengatakan, pemerintah sebenarnya bisa dengan mudah mengetahui jika ada perusahaan farmasi yang mengganti bahan bakunya dengan jenis yang lain. Yakni dengan koordinasi antara Kementerian Kesehatan dengan pihak Bea Cukai Kemenkeu, serta dengan Kementerian Perdagangan.
"Ini bisa saja substitusi produsen saat produksi obat. Kemungkinan pelarut nya yang disubstitusi," kata Charles seperti dikutip dari Program Sapa Indonesia Pagi, Senin (24/10/2022).
"Pemerintah harus bisa melakukan koordinasi linyas lembaga. Misalnya Kemenkes dengan Kemendag dan Bea Cukai, itu bisa memeriksa apakah dalam beberapa bulan terakhir ada perubahan impor yang dilakukan perusahaan farmasi, dari produsen lain di luar negeri. Itu kan sangat mudah kita bisa tahu," jelasnya.
Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Antara