> >

Menkes Minta BPOM Tes Kualitas Produksi Berbagai Jenis Obat Untuk Cegah Kasus Serupa Gagal Ginjal

Kesehatan | 27 Oktober 2022, 05:36 WIB
Menkes Budi Gunadi Sadikin dan Kepala BPOM menyampaikan keterangan pers usai mengikuti rapat yang dipimpin oleh Presiden Jokowi, di Istana Kepresidenan Bogor, Jabar, Senin (24/10/2022). (Sumber: Dok. Setkab)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengadakan tes kualitas produksi berbagai jenis obat, guna mencegah terjadinya gagal ginjal pada anak lebih meluas.

Budi menekankan, pemeriksaan kualitas itu sangat diperlukan untuk menyelamatkan nyawa anak-anak bangsa yang saat ini sedang berada dalam bahaya, karena adanya gagal ginjal akut dan berbagai jenis virus.

“Kita sudah koordinasi dengan BPOM untuk setiap batch produksi itu, kalau bisa dites quality control nya karena wewenangnya kan adanya di sana,” kata Budi seperti dikutip dari Antara, Rabu (26/10/2022).

Pemeriksaan kualitas produk itu, katanya, juga dapat memperkuat pemantauan jenis obat-obat berbahaya. Sementara Kementerian Kesehatan mengusahakan pengadaan obat bagi pasien gagal ginjal jantung dalam jumlah yang banyak.

Budi menuturkan, saat ini pemerintah sedang berusaha mendatangkan lebih banyak obat Fomepizole. Di mana pemerintah sedang melangsungkan tahap finalisasi pembelian obat penawar gagal ginjal yang berasal dari Amerika dan Jepang.

Baca Juga: Produsen Unibebi Obat Sirup Mengaku Tak Tahu Ada Etilen Glikol di Produknya

“Saya juga kemarin saat datang ke Singapura kita minta lagi, sudah diberikan 10 vial. Australia sudah datang 16 vial. Kalau sekarang, kita sedang finalisasi beli dari Amerika dan Jepang,” ungkap Budi. 

Setelah diberikan obat, pasien dengan gagal ginjal akut seperti di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta mengalami perbaikan kondisi. Artinya, obat tersebut efektif untuk mengurangi keparahan.

“Kita coba di RSCM dari 10 bayi balita yang kena serangan ginjal, yang data kita 57 persen meninggal itu tujuh sudah sembuh. Tiga bayi yang biasanya kondisinya menurun, itu jadi stabil. Oleh karena itu, kita lihat bahwa efikasinya, ketangguhannya itu bagus,” tuturnya. 

Kemudian, jumlah kasus yang ditemukan juga mulai turun drastis karena adanya kebijakan pemberhentian sementara penjualan obat dalam bentuk cair atau sirop.

"Kita lihat setelah kita berhentikan penjualan obat sirop di apotek itu, dilaporkannya dua kasus, yang biasa tadinya 30-40, sekarang turun drastis, dua tiga hari jadi ketemu tiga kasus," sebut Budi. 

Baca Juga: Waspada Gagal Ginjal Akut, Orangtua Sebaiknya Catat Jenis dan Tanggal Obat yang Diminum Anak

Sebelumnya,Ombudsman RI menyatakan menemukan sejumlah dugaan potensi maladminsitrasi yang dilakukan Badan POM, dalam kasus gagal ginjal akut pada anak-anak di Indonesia. 

Anggota Ombudsman Robert Na Endi Jaweng menyatakan, potensi maladministrasi yang dilakukan BPOM adalah lalai dalam pengawasan pre dan post market. Ia menilai BPOM tidak maksimal dalam mengawasi produk yang diuji oleh perusahaan farmasi. 

Dengan mekanisme uji mandiri, itu seolah BPOM memberikan kewenangan negata kepada perusahaan farmasi tanpa kontrol yang kuat. 

"Yang terjadi, uji mandiri dilakukan perusahaan farmasi baru mereka laporkan ke BPOM. Jadi BPOM terkesan pasif dan menunggu. Kami minta kontrol harus aktif, pada tingkat tertentu harus diambil sampling random dan BPOM sendiri yang menguji," tutur Robert dalam konferensi pers virtual beberapa waktu lalu. . 

Robert juga meminta ada sanksi yang keras kepada perusahaan yang produknya terbukti mengandung zat yang menyebabkan gagal ginjal akut. 

Baca Juga: Guru Besar Farmasi UGM: Jika Telanjur Konsumsi Etilon Glikol, Banyak Minum Air Putih

Potensi Maladministrasi BPOM: 

1. Ombudsman RI menyoroti adanya kelalaian dari BPOM RI dalam pengawasan pre market (proses sebelum obat didistribusikan dan diedarkan) dan post market control (pengawasan setelah produk beredar)

2. Ombudsman menilai bahwa BPOM tidak maksimal melakukan pengawasan terhadap produk yang diuji oleh perusahaan farmasi (uji mandiri).

3. Ombudsman menilai bahwa terdapat kesenjangan antara standarisasi yang diatur oleh BPOM RI dengan implementasi di lapangan.

4. Ombudsman menilai bahwa dalam tahapan ini perlu adanya pengawasan BPOM RI pasca pemberian izin edar.

5. Ombudsman RI menilai bahwa BPOM RI perlu melakukan evaluasi secara berkala terhadap produk yang beredar Hal ini bertujuan untuk memastikan konsistensi mutu kandungan produk yang beredar.

6. Ombudsman menilai bahwa BPOM RI wajib memaksimalkan tahapan verifikasi dan validasi sebelum penerbitan izin edar.

Penulis : Dina Karina Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Antara


TERBARU