> >

Kemenkes Izinkan Tenaga Kesehatan Resepkan 156 Obat Sirup yang Aman

Kesehatan | 25 Oktober 2022, 08:16 WIB
Ilustrasi obat sirup. (Sumber: ugm.ac.id)

Penyebab pertama adalah kemungkinan perubahan bahan baku yang digunakan oleh produsen. Hal itu menurut Zullies harus ditanyakan langsung kepada pihak Industri farmasi, lewat dokumen produksi yang mereka miliki. 

"Jika memang industri farmasi bisa menunjukkan dokumen yang valid dan memang tidak ada perubahan bahan baku berarti kemungkinan pertama ini gugur," kata Zullies dalam program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Senin (24/10/2022).

Penyebab kedua adalah kemungkinan peruraian yang terjadi selama masa penyimpanan baik oleh produsen ataupun konsumen. Zullies menyampaikan, adalah hal yang wajar jika selama masa tersebut terjadi peruraian misalnya akibat terkena sinar matahari langsung. 

Baca Juga: Punya Industri Farmasi Besar, India Jadi 'Apotek Dunia Ketiga', Kini Terancam gegara Kasus Gambia

"Sehingga zat-zat di dalam obat tersebut mengalami peruraian. Namun kalau dijawab cara orang menyimpan obat kan tidak berubah dari dulu sampai sekarang, bisa jadi gugur juga kemungkinan itu," ujar Zullies. 

Kemungkinan penyebab yang ketiga adalah adanya kesalahan saat memproduksi obat. Misalnya zat pelarut yang dimasukkan melebihi ambang batas. Penyebab ketiga ini harus dibuktikan dengan akurat karena memang ada implikasi secara hukum. 

"Tidak boleh untuk pembuatan obat. Kecuali sebagai cemaran, memang kita tidak mungkin mendapat bahan baku yang kadar cemarannya 0 persen. Itu susah, tapi enggak apa-apa selama masih dalam batas aman," ucapnya. 

Zullies menyarankan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus melakukan pengawasan sebelum dan setelah obat diedarkan. Termasuk mengawasi dari mana para produsen mendapatkan bahan bakunya. 

Baca Juga: Ini Daftar 23 Obat Sirup yang Aman Tanpa Kandungan Etilen Glikol

Jika ada perubahan sumber bahan baku obatnya harus dilaporkan ke BPOM. Selama ini, BPOM hanya mensyaratkan bahan baku obat harus bebas dari cemaran zat berbahaya. Namun belum ada aturan yang mewajibkan produk jadi obat juga harus bebas cemaran. 

"Karena asumsinya, kalau bahan bakunya bebas cemaran nah produk akhirnya juga pasti bebas cemaran. Kalaupun ada masih dalam ambang batas, kecuali ada masalah di 
penyimpanan, terjadi peruraian, itu beda lagi," kata Guru Besar Farmasi UGM itu. 

Zullies menuturkan, sebaiknya pemerintah fokus pada merek obat yang sudah diuji dan terbukti mengandung zat-zat berbahaya tadi. 

"Jangan kita tepuk lalat tapi yang kena semua badan. Supaya terlokalisir, fokus saja di 3 merek itu apa benar ada subtitusi bahan baku. Kalau memang ada ya masuk disitu, sehingga tidak perlu fokus pada (merek) yang lain dulu. Itu lebih bijak," katanya. 

Penulis : Dina Karina Editor : Desy-Afrianti

Sumber :


TERBARU