> >

JPU Sebut Penasihat Hukum Putri Candrawathi Keliru Pahami Splitsing Berkas Perkara

Peristiwa | 20 Oktober 2022, 12:25 WIB
Jaksa Penuntut Umum menilai Penasihat Hukum Terdakwa Putri Candrawathi keliru dalam memahami splitsing atau pemisahan berkas perkara sebagaimana Pasal 142 KUHAP (Sumber: Tangkapan layar YouTube Kompas TV/Ninuk)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Jaksa Penuntut Umum menilai Penasihat Hukum Terdakwa Putri Candrawathi keliru dalam memahami splitsing atau pemisahan berkas perkara sebagaimana Pasal 142 KUHAP.

Demikian Jaksa Penuntut Umum Erna Normawati dalam sidang tanggapan jaksa untuk eksepsi yang diajukan oleh Terdakwa Putri Candrawathi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (20/10/2022).

“Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 142 KUHAP tersebut perkara atas nama Terdakwa Putri Candrawathi, tidak termasuk perkara yang harus digabungkan karena dari beberapa Terdakwa dalam peristiwa pidana tersebut mempunyai peranan yang berdiri sendiri,” kata Jaksa Erna Normawati.

“Hal tersebut sejalan dengan pandangan Yahya Harapan dalam bukunya Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (halaman 442), pemecahan berkas perkara ini dulu disebut splitsing. Memecah satu berkas perkara menjadi dua atau lebih atau a split trial.”

Baca Juga: JPU Minta Hakim Tolak Eksepsi Putri Candrawathi dan Lanjutkan Persidangan

Bukan hanya itu, lanjut Jaksa Erna Normawati, Yahya Harahap juga menjelaskan bahwa pada dasarnya pemecahan berkas perkara terjadi disebabkan faktor pelaku tindak pidana terdiri dari beberapa orang.

 

Apabila terdakwa terdiri dari beberapa, kebijaksanaan untuk memecah berkas perkara menjadi beberapa berkas sesuai jumlah terdakwa. Sehingga berkas yang semula diterima penuntut umum dari penyidik, dipecah menjadi dua atau beberapa berkas perkara.

Lalu, pemecahan dilakukan apabila yang menjadi terdakwa dalam perkara tersebut, terdiri dari beberapa orang.

“Dengan pemecahan berkas perkara dimaksud, masing-masing terdakwa didakwa dalam surat dakwaan yang berdiri sendiri antara yang satu dengan yang lain,” kata Jaksa Erna.

Kemudian, sambung Jaksa Erna, pemeriksaan perkara dalam pemecahan berkas perkara, tidak lagi dilakukan bersamaan dalam satu persidangan. Masing-masing terdakwa diperiksa dalam persidangan yang berbeda.

“Pada umumnya, pemecahan berkas perkara menjadi penting, apabila dalam perkara tersebut kurang bukti dan kesaksian,” ujar Jaksa Erna.

Baca Juga: Jawab Eksepsi Putri Candrawathi, JPU Nyatakan Dakwaan Penuhi Syarat Formil, Tunggu di Pembuktian

Selain itu, kata Jaksa Erna, sesuai pandangan Yahya Hararap menambahkan pemecahan berkas perkara menjadi beberapa berkas yang berdiri sendiri, dimaksudkan untuk menempatkan para terdakwa masing-masing menjadi saksi timbal balik di antara sesama mereka.

“Sedangkan apabila mereka bergabung dalam satu berkas dan pemeriksaan persidangan, antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dijadikan saling menjadi saksi timbal balik,” ucapnya.

Oleh karena itu, dengan berpedoman pada Pasal 142 KUHAP, maka berkas perkara harus diadakan pemisahan (splitsing) agar para terdakwa dapat disidangkan terpisah.

Sehingga terdakwa yang satu dapat menjadi saksi terhadap terdakwa lainnya.

“Bahwa Yurisprudensi yang diikuti selama ini masih mengakui saksi mahkota sebagai alat bukti sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 1986K/Pid/1989 tanggal 2 Maret 1990 menyatakan, Bahwa Jaksa Penuntut Umum diperbolehkan oleh Undang-undang mengajukan teman terdakwa yang ikut serta melakukan perbuatan pidana tersebut sebagai saksi di persidangan Pengadilan Negeri, dengan syarat bahwa saksi ini dalam kedudukannya sebagai terdakwa,” ucap Jaksa Erna.

Penulis : Ninuk Cucu Suwanti Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU