Sekjen PDIP: Multipartai tak Memungkinkan Suara Parpol Naik 300 Persen seperti Demokrat pada 2009
Politik | 18 September 2022, 16:07 WIBKOMPAS.TV – Sistem multipartai yang ada di Indonesia sebenarnya tidak memungkinkan partai politik meraih kenaikan suara hingga 300 persen seperti yang diperoleh Partai Demokrat pada Pemiihan Umum (Pemilu) 2009.
Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, dalam konferensi pers, Minggu (18/9/2022).
Pernyataan Hasto tersebut sekaligus menanggapi pernyataan Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Demokrat.
“Sistem multipartai seperti Indonesia yang sangat kompleks, dengan intensitas persaingan yang sangat tinggi sebenarnya tidak memungkinkan bagi parpol seperti Partai Demokrat untuk mengalami kenaikan 300 persen pada Pemilu 2009 yang lalu,” urainya.
“Ini adalah sebuah anomali di dalam pemilu. Bayangkan ketika PDI Perjuangan berkuasa, kemudian juga dituduhkan macam-macam, berapa kenaikan suara PDI Perjuangan di dalam era multipartai yang juga sangat kompleks?”
Hasto menyampaikan, pemaparannya tersebut berkaitan dengan apa yang disampaikan oleh SBY, bahwa Partai Demokrat tidak pernah melakukan kecurangan di dalam pemilu.
Tudingan SBY yang menyebut pemerintahan Presiden Jokowi dengan kata-kata batil, kata-kata jahat, menurutnya jauh dari kenegarawanan SBY.
Baca Juga: Momen SBY Tuding Pemilu 2024 Buat 2 Capres Cawapres Saja, Sindir Siapa?
“Itu juga jauh dari kenegarawanan Pak SBY, jauh dari bagaimana politik ini memerlukan suatu keadaban.”
Hasto menjelaskan, yang disampaikan oleh SBY, dilakukan di depan forum resmi, Rapat Pimpinan Nasional Partai Demokrat.
Bagi dirinya, rapat pimpinan suatu partai harus didasarkan pada politik kebenaran. Bukan didasarkan pada fitnah, pada ambisi, atau berbagai informasi yang tidak tepat.
“Apa yang pak SBY sampaikan? Pertama, mendengar dan menyatakan ada tanda-tanda Pemilu 2024 tidak jujur.”
“Sekiranya kenegarawanan beliau dikedepankan, tentu saja apa yang beliau dengar dan ketahui dapat disampaikan pada KPU sebagai penyelenggara pemilu yang netral,” tuturnya.
Terlebih pada proses pemilihan KPU, Partai Demokrat turut menyampaikan suaranya.
Kedua, lanjut Hasto, konon akan diatur adanya dua pasang calon.
Menjawab dengan tudingan itu, Hasto menyebut seluruh pengamat politik, bahkan juga Surya Paloh menyampaikan analisisnya,bahwa Pemilu 2024 paling tidak ada tiga atau empat calon.
“Kemudian tiba-tib Pak SBY sudah menghakimi bahwa sepertinya Presiden Jokowi melakukan pengaturan agar dua pasangan calon.”
“Di sini perlu kami sampaikan bahwa ketentuan presidential treshold sebesar 25 persen suara atau 20 persen kursi merupakan bagian dari ketentuan yang disepakati bersama, termasuk pada masa Presiden SBY,” urainya.
Presidential treshold, lanjut dia, juga memastikan adanya stabilitas politik pemerintahan yang dipilih langsung oleh rakyat, presiden dan wakil presiden.
Ia mencontohkan pemerintahan Presiden Jokowi dan JK pada tahun 2014, yang hanya mengandalakan dukungan minimum 20 persen kursi lebih.
“Kita tahu bagaimana terjadi mobilisasi kekuasaan luar biasa di parlemen, sehingga Pak Jokowi dan Pak JK yang dipilih oleh rakyat kemudian dilakukan berbagai bentuk penghadangan di DPR.”
“Sehingga pimpinan DPR dan seluruh alat kelengkapan DPR berasal dari partai yang bukan pendukung Jokowi-JK,” ucapnya.
Hal ini, kata Hasto, tentu saja merupakan kecelakaan dalam demokrasi, bahkan itu merupakan tsunami dalam demokrasi, yakni ketika suara dari rakyat melalui pemilihan presiden secara langsung, ternyata tidak senafas dengan apa yang terjadi di parlemen.
“Akibatnya, pemerintahan Pak Jokowi-JK memerlukan waktu 1,5 tahun untuk melakukan konsolidasi politik.”
Karena itu, menurut Hasto, yang disampaikan oleh SBY dengan menuduh tanpa fakta, termasuk tentang pengaturan pasangan calon, dan membuat skenario agar Partai Demokrat sebagai oposisi tidak bisa mencalonkan, merupakan sesuatu yang berlebihan.
“Itu kan menunjukkan kekhawatiran berlebihan tanpa fakta.”
Baca Juga: SBY: Saya Harus Turun Gunung Hadapi Pemilu 2024, Ada Tanda-tanda Pemilu Tidak Jujur dan Tidak Adil
“Kita bisa memahami seorang ayah untuk mendorong anaknya misalnya, tapi harus melihat mekanisme konstitusional yang ada,” imbuh dia.
Bahwa, lanjut dia, ketentuan presidential treshold itu merupkan ketentuan yang sah secara konstitusi dan tidak boleh diganggu gugat.
Bahkan, kata Hasto, berulang kali dilakukan judicial review tentang hal itu, namun Mahkamah Konstitusi menetapkan betapa pentingnya presidential treshold untuk memastikan agar pemerintahan berjalan dengan efektif.
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Purwanto
Sumber : Kompas TV