Menata Ratusan Hewan Melata, Menyibak Misteri Ular Berbisa
Sosial | 3 September 2022, 05:31 WIBAwal ketertarikannya muncul saat dirinya hendak melaksanakan PKL di bangku kuliahnya, di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.
Saat itu dosennya menyoroti skripsi sebagian besar mahasiswa Biologi, yang disebut hanya tentang air.
Setelah itu, secara kebetulan Lydia bertemu dengan seorang pengamat ular, Jamzuri, yang hendak menggelar pameran.
“Waktu itu dia bilang, kalau mau lihat ular silakan ke rumahnya, lagi banyak.”
Lydia pun berkunjung ke kediaman Jamzuri, dan di sana ia bertemu dengan adik tingkatnya di kampus, Heru Gundul, yang kemudian meminta tolong agar Lydia mencarikan nama latin untuk ular-ular yang ada di rumah Jamzuri.
Dari situ, Lydia mendapat ide untuk melaksanakan PKL tentang ular. Ia pun ke kampus dan menemui dosennya.
Tapi, idenya untuk melaksanakan PKL tentang ular tidak serta merta diterima. Kata Lydia, pihak fakultas merapatkan usulannya tersebut.
“Kemudian fakultas rapat dulu untuk memutuskan boleh atau tidak. Seminggu kemudian dikabari bahwa boleh, tapi PKL hingga skripsi harus tentang ular,” kenangnya.
Setelah lulus kuliah, Lydia meneruskan kegemarannya belajar tentang ular. Ia bahkan berpikir untuk menekuni secara serius studi tentang hewan melata tersebut.
Seiring berjalannya waktu, Lydia bersama tiga rekannya kemudian mendirikan komunitas pecinta ular di Jakarta.
Namun, karena sejumlah hal dan pertimbangan, pada tahun 2007 Lydia tidak lagi aktif di komunitas tersebut.
“Tahun 2008 saya bikin Tulala ini.”
Tulala sebagai pusat studi ular memiliki beragam kegiatan, termasuk mengedukasi karyawan perusahaan tambang.
Sebab, menurut Lydia, petugas survei di perusahaan tambang sering kali harus berhadapan dengan satwa liar, salah satunya ular.
Selain ke sejumlah perusahaan tambang, Tulala Snake Research Center juga memberikan penyuluhan untuk sekolah-sekolah, masyarakat umum, bahkan ke hotel-hotel.
“Edukasi dengan ada silabusnya.”
“Misalnya kita edukasi ke TK, kita tidak akan ngomong yang tinggi-tinggi amat, maksudnya materinya tidak seberat yang lainnya,” lanjutnya.
Lydia menyesuaikan materi yang diberikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta pelatihan.
Ia menjelaskan mulai dari anatomi, secara biologinya, morfologi, taksonomi, hingga fisiologi ular. Semacam menyibak misteri tentang ular yang tak diketahui orang awam.
“Bahkan sampai kita ada etnoserventologi, yaitu penanganan gigitan ular secara tradisional.”
Selain edukasi berupa penyuluhan, Lydia juga beberapa kali melakukan rescue atau pertolongan saat warga mendapati adanya ular di rumah atau lingkungannya.
Saat ini ia memelihara 12 ekor ular berbagai jenis, termasuk seekor ular welang hasil rescue, yang memiliki bisa atau racun tinggi.
Ia mengaku sangat safety dalam menjaga ular-ularnya agar jangan sampai terlepas. Sebab, jika ular itu lepas, ia akan kesulitan mencarinya dan tentunya akan menghebohkan tetangga sekitar.
Bukan hanya itu, dari sejumlah ular itu, beberapa di antaranya memiliki harga jual yang cukup tinggi, sehingga akan sangat disayangkan jika sampai lepas dan hilang.
“Selain itu ada ular yang lumayan harganya, eman-eman kalau lepas.”
Memelihara ular, lanjut dia, sebenarnya tidak terlalu merepotkan, karena biasanya ular hanya makan dua hingga tiga pekan sekali.
Tapi, itu juga tergantung pada jenis dan bobot ular. Ia pernah memiliki ular sepanjang 4,5 meter yang dinamai Donat.
Saat memelihara Donat, biaya yang harus dikeluarkan untuk pakan cukup besar, karena sekali makan dibutuhkan lima kilogram paha ayam.
“Jadi kita belanja kayak orang mau hajatan,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan bahwa masing-masing jenis ular memiliki karakter yang berbeda. Sebagai orang yang sudah cukup lama bergelut dengan ular, Lydia mengaku paham karakter masing-masing.
Bahkan hanya dengan melihat dan merasakan bahasa tubuh ular, Lydia paham apa yang harus dilakukan.
“Jangan sampai tergigit. Kita kalau main ular sebisa mungkin jangan sampai tergigit, itu yang benar.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV