SM Kartosoewirjo Proklamirkan NII 7 Agustus 1949 hingga Permintaan Terakhir sebelum Dieksekusi Mati
Sosok | 7 Agustus 2022, 12:05 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Hari ini dalam sejarah, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau SM Kartosoewirjo mendirikan Negara Islam Indonesia atau dikenal sebagai NII tepatnya pada 7 Agustus 1949.
Kartosoewirjo mendirikan NII sebagai bentuk perlawanan karena ia merasa kecewa terhadap kebijakan pemerintah pusat Indonesia.
SM Kartosoewirjo juga menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam dengan bantuan Tentara Islam Indonesia (TII) atau DI/TII untuk mendirikan NII.
Ia juga pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, namun gagal sehingga ia dijatuhi hukuman mati.
Berikut KOMPAS.TV rangkum dari berbagai sumber terkait sejarah pendirian NII oleh SM Kartosoewirjo, Minggu (7/8/2022).
1. Sosok SM Kartosoewirjo
Kartosoewirjo lahir dari keluarga yang ternyata bukan dari kalangan sembarangan di sebuah desa di Cepu, Jawa Tengah pada 7 Januari 1905.
Ayahnya, Ronodikromo merupakan lurah di Cepu dan masih keturunan Arya Penangsang, adipati Jipang pada abad ke-16.
Riwayat pendidikannya pun lebih menonjol dari anak-anak lain. Ia pernah bersekolah di Inlandsche School der tweede Klasse (ISTK).
Kartosoewirjo muda dikenal sebagai sosok yang cerdas, karena itulah ia bisa bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) atau sekolah untuk orang Eropa di Bojonegoro.
Lulus dari ELS tahun 1923, Kartosoewirjo melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Kedokteran. Di sanalah ia bergabung dengan organisasi Syarikat Islam yang dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto.
Sejak masuk SI, Kartosoewirjo lebih tergerak dalam aksi politik karena terpengaruh oleh pemikiran Tjokroaminoto.
Tahun 1927 ia dikeluarkan dari perguruan tinggi karena dianggap sebagai aktivis politik serta memiliki buku sosialis dan komunis.
Ia kemudian bekerja sebagai Pemimpin Redaksi Koran Harian Fadjar Asia dan aktif menulis tentang pertentangan terhadap bangsawan Jawa yang bekerja sama dengan Belanda.
Kartosoewirjo juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada September 1927.
2. Awal Pendirian NII
Tahun 1937, ia memutuskan keluar dari PSII untuk mendirikan gerakan politiknya sendiri berdasarkan hukum syariah islam.
Dalam hidupnya, Kartosoewirjo kerap bertentangan dengan kebijakan pemerintah Indonesia saat itu.
Lantas, kebijakan pemerintah apa yang membuat Kartosoewirjo akhirnya membentuk NII?
Saat itu, pemerintah pusat menginstruksikan seluruh Divisi Siliwangi melakukan long march ke Jawa Tengah.
Perintah long march tersebut merupakan konsekuensi dari Perjanjian Renville, yang dibentuk hanya untuk mengelabui orang-orang penting agar bersedia patuh terhadap Hindia Belanda.
Kartosoewirjo kecewa dan menolak dengan tegas semua perjanjian yang diadakan dengan Belanda.
Berbekal rasa kecewanya yang membuncah akhirnya Kartosoewirjo mendeklarasikan NII pada 7 Agustus 1949.
Beberapa daerah yang menyatakan menjadi bagian dari NII adalah Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
3. Pemberontakan DI/TII
Pemerintah Indonesia saat itu tidak tinggal diam, dan membuat operasi untuk menangkap Kartosoewirjo.
Pihak NII semakin geram, Kartosoewirjo akhirnya mengerahkan pasukan yang dikenal sebagai Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Jawa Barat untuk berperang dengan pemerintah.
Darul Islam berkembang menguasai sepertiga Jawa Barat, bahkan melancarkan serangan sampai ke pinggiran Jakarta selama tahun 1950-an,
4. Serangan Balik Soekarno
Soekarno membentuk pemerintahan Demokrasi Terpimpin Tahun 1959 sebagai bentuk perlawanan terhadap Darul Islam.
Dijalankanlah operasi pagar kaki oleh Militer, yakni mengepung semua pangkalan gunung gerilyawan dan memotong jalur pasukan dan pelarian mereka.
Militer memaksa para pemberontak untuk memilih antara menyerah atau tewas di tempat.
5. Perlawanan Kartosoewirjo
Kartosoewirjo menyatakan Perang Total tahun 1961. Para gerilyawan DI menggunakan taktik terror dan bandit terhadap warga sipil.
Puncaknya, ketika Kartosoewirjo mengirimkan salah seorang anggotanya untuk melakukan upaya pembunuhan terhadap Soekarno saat ia sedang salat Idul Adha pada Mei 1962.
Namun, usaha anak buah Kartosoewirjo gagal, ia sendiri lantas ditangkap di tempat persembunyiannya di Gunung Geber dekat Garut, Jawa Barat.
Tak banyak yang tahu, Soekarno dan Kartosoewirjo adalah sahabat dekat yang sama-sama berguru kepada HOS Tjokroaminoto.
Hal itu berdasarkan kisahnya dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.
6. Nasib Kartosoewirjo dan DI
Usai ditangkap, ia mengeluarkan perintah kepada seluruh pengikutnya untuk menyerah. Sehingga, pada Agustus 1962, pasukan DI di Jawa Barat yang beroperasi di Gunung Ciremai menarik mundur pasukannya.
Kartosoewirjo dinyatakan bersalah atas pemberontakan dan percobaan pembunuhan Presiden Soekarno oleh pengadilan Militer.
Saat itu, Soekarno sempat tidak mau menandatangani persetujuan hukuman mati terhadap sahabatnya itu.
Namun, hukuman mati Kartosoewirjo akhirnya dilaksanakan pada 5 September 1962 dengan cara ditembak oleh regu tembak yang terdiri 12 orang.
7. Permintaan Terakhir Kartosoewirjo
Pada 2012, Sardjono, anak bungsu Kartosoewirjo mengungkap rupanya sang ayah memiliki 4 permintaan terakhir sebelum dieksekusi.
"Dari empat permintaan, hanya satu yang dikabulkan Ketua Mahkamah Darurat Perang (Mahadper) kala itu," kata Sardjono saat menghadiri peluncuran buku 'Hari Terakhir Kartosoewirjo: 81 Foto Eksekusi Mati Imam DI/TII' di TIM, Jakarta, Rabu (5/9/2012).
Permintaan pertama Kartosoewirjo adalah, agar diizinkan bertemu dengan perwira-perwira (NII) terdekat.
"Tapi permintaan ini ditolak," kata Sardjono.
Kedua, Kartosoewirjo minta eksekusinya disaksikan oleh perwakilan keluarga. Namun permintaan ini juga ditolak dengan alasan bertentangan dengan budaya.
Permintaan ketiga Kartosoewirjo adalah meminta supaya jenazahnya kelak dikembalikan kepada keluarga untuk dimakamkan di pemakaman keluarga.
Namun, Sardjono mengatakan permintaan itu juga ditolak.
Hanya permintaan keempat saja yang dikabulkan, yaitu Kartosoewirjo meminta untuk bertemu dengan keluarganya untuk yang terakhir kali.
Penulis : Dian Nita Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas.com, Tribunnews