Senjata Bharada E Dipertanyakan, Anggota DPR Sebut Glock untuk Pangkat Kapten ke Atas
Sapa indonesia | 13 Juli 2022, 19:46 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV – Anggota Komisi III DPR RI, Trimedya Panjaitan, mempertanyakan penggunaan senjata api jenis Glock oleh Bharada E untuk menembak Brigadir J.
Trimedia mengatakan, ada sejumlah kejanggalan pada kasus tewasnya Brigadir J seusai baku tembak dengan Bharada E di rumah dinas Kadiv Propam Polri. Salah satunya adalah penggunaan pistol Glock.
“Satu lagi yang agak janggal bagi saya, Bharada E itu disampaikan bahwa memakai senjata Glock,” ucapnya dalam dialog Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Rabu (13/7/2022).
Sepengetahuannya, kata Trimedya, di internal institusi Polri, senjata jenis Glock hanya dipergunakan oleh personel berpangkat Kapten atau Ajun Komisaris Polisi (AKP) ke atas.
“Yang saya ketahui, saya bukan pemakai senjata, tapi saya rajin membaca-baca, bahwa Glock itu untuk internal Polri, yang memakai kapten ke atas. Itu harus dibuat terang semuanya,” tuturnya.
Dalam dialog tersebut, Trimedya juga menyebut ada pesan moral berkaitan kasus itu, yakni orang mati jangan difitnah.
Menurutnya, banyak berita liar yang beredar tentang Brigadir J atau Brigadir Yosua, dan cerita yang disampaikan oleh orang-orang, menjdi alasan untuknya menyampaikan pesan moral.
Baca Juga: Mahfud MD Pastikan Kawal Penyelidikan Kasus Baku Tembak Dua Anggota Polri di Rumdin Kadiv Propam
“Karena begitu banyaknya, kalau istilah Kapolri, berita-berita liar itu, kemudian bangunan cerita yang disampaikan, dengan apa yang orang lain sampaikan, saya menyampaikan pesan moral, jangan sampai orang yang meninggal, difitnah.”
“Saya kira itu dalam sekali maknanya, dan untuk itu supaya menjadikan ini transparan,” pesannya.
Ia menambahkan, jika proses penyelidikan kasus ini tidak transparan dan akuntabel, bisa saja muncul asumsi bahwa orang yang sudah meninggal juga difitnah.
Terlebih, permintaan dari pihak keluarga Brigadir Yosua agar ponsel milik almarhum dikembalikan, belum juga dikabulkan.
“Apa yang disampaikan keluarga, hak-hak mereka, itu kan juga diabaikan.”
“Misalnya sudah teriak-teriak keluarga dari almarhum, tiga handphone anaknya tolong dikembalikan, sampai sekarang juga tidak dikembalikan handphone itu,” tuturnya.
Selaku orang hukum yang berprofesi sebagai advokat sejak tahun 1991, Trimedya menegaskan, bahwa sangat jelas ada kejanggalan dalam kasus ini.
Beberapa kejanggalan lain menurut Trimedya adalah bahwa peristiwa penembakan itu terjadi pada Jumat (8/7), tetapi disampaikan pada publik tiga hari kemudian pada Senin (11/7).
Selain itu, saat Karopenmas melakukan konferensi pers, ia melihat ketidaksiapan pelaksanaan konferensi pers tersebut.
“Pada saat itu tidak siap betul Karopenmas itu konferensi pers. Menjawab pertanyaan-pertanyaan juga kurang siap, dan tidak detail,” nilai politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
“Baru, pada konferensi pers Kapolres Jakarta Selatan, itu lebih baik menurut pengamatan saya,” tambahnya.
Hanya saja, saat itu, senjata yang digunakan untuk menembak beserta proyektilnya, tidak diperlihatkan pada wartawan. Padahal, menurut dia, pada kasus narkoba pun, barang bukti selalu ditunjukkan.
“Kejanggalan-kejanggalan seperti itu, pikiran saya, Komnas HAM juga harus sudah bersuara sejak awal.”
“Misalnya juga soal autopsi. Autopsi itu kan hak dari keluarga, karena ini meninggalnya bukan meninggal yang wajar,” tuturnya.
Baca Juga: Ratusan Polisi Disebut Kepung Rumah Orang Tua Brigadir J, Ini Kata Polri
Karena Brigadir Yosua meninggal diduga akibat sebuah tindak pidana, pihak keluarganya, kata Trimedya, juga harus diberikan hasil autopsi itu.
“Nah, Karopenmas tidak ada ngomong itu hari Senin itu. Sorenya baru Kapolres Jakarta Selatan menyampaikan, tetapi itu cuma ditunjukin mapnya saja.”
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana Editor : Vyara-Lestari
Sumber : Kompas TV