Pengamat Hukum Pidana Sebut Ada Potensi Pidana Penggelapan hingga Terorisme di Kasus ACT
Hukum | 6 Juli 2022, 05:41 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan menilai ada potensi tindak pidana dari laporan PPATK terkait dugaan penyelewengan dana yang dilakukan lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT).
Potensi tindak pidana tersebut mulai dari penggelapan, penipuan, tindak pidana pencucian uang hingga tindak pidana terorisme.
Menurut Asep, dalam laporan PPATK menyebutkan ada indikasi penggunaan dana untuk kepentingan pribadi.
Baca Juga: ACT Akui Potong 13,7 Persen Dana untuk Operasional, PPATK: Harusnya Bukan Memotong Dana Donasi
Jika hal tersebut terbukti maka pimpinan lembaga dapat terjerat Pasal 372 KUHP soal penggelapan dan Pasal 378 KUHP delik Penipuan.
Tak hanya dua pasal KUHP tersebut, aparat hukum dapat menerapkan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian.
Bahkan jika terbukti adanya aktivitas terlarang yang mengarah kepada dugaan pembiayaan terorisme seperti laporan PPATK ke Densus 88 Antiteror dan BNPT, maka pihak yang bertangung jawab dapat disangkakan melanggar UU Nomor 15 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU.
"Sekarang sudah diketahui sama PPATK, laporan detailnya PPATK yang lebih tahu dan ini harus ditindak lanjuti aparat hukum, Densus 88, kepolisian dan lain yang masih banyak," ujar Asep saat dihubungi KOMPAS TV di program SAPA INDONESIA MALAM, Selasa (5/7/2022).
Baca Juga: Dugaan Penyelewengan Dana Donasi ACT, Pengamat: Bisa Masuk Ranah Pidana!
Asep menambahkan dugaan tindak pidana penggelapan sangat jelas dinyatakan oleh pimpinan lembaga ACT bahwa ada potongan 13,7 persen dana donasi yang diterima.
Padahal lembaga kemanusiaan mengumpulkan dana umat yang sifatnya amal sedekah.
Menurut Asep pengumpulan dana yang bersifat amal sedekah semestinya tidak boleh dipotong untuk gaji karyawan ataupun pemimpin dari yayasan.
Baca Juga: PPATK Paparkan Temuannya untuk Dugaan Pelanggaran Donasi ACT
Pemotongan tersebut sama saja yayasan ACT telah memotong hak penerima yang dititipkan.
"Perlu dicatat kalau sifatnya amal sedekah tidak boleh untuk gaji. Jelas itu penggelapan, dana itu untuk disalurkan ke mustahiq kok, malah buat pejabat tinggi gaji Rp250 juta," ujar Asep
"Ini jelas pengelapan dana umat seharusnya disampaikan kepada umat dari para dermawan," tegasnya.
Sebelumnya dugaan penyelewengan dana donasi umat di tubuh organisasi itu viral di media sosial, salah satunya di Twitter hingga memunculkan tanda pagar (tagar) #aksicepattilep dan #janganpercayaACT.
Baca Juga: Densus 88 Dalami Temuan PPATK soal Transaksi Keuangan ACT yang Diduga Mengalir ke Teroris
Di sisi lain PPATK menelusuri aliran dana dari lembaga kemanusiaan ACT.
Kepala PPATK Ivan Yustiavan mengungkapkan hasil penelusuran dana ACT tidak hanya ada indikasi penggunaan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga adanya aktivitas terlarang yang mengarah kepada dugaan pembiayaan terorisme.
Ivan menyatakan pihaknya telah telah menyerahkan bukti tersebut kepada Densus 88 Antiteror dan BNPT untuk dilakukan pendalaman.
"Karena transaksi mengindikasikan demikian (terorisme), tetapi perlu adanya pendalaman lagi yang dilakukan oleh penegak hukum terkait. Maka sudah kami serahkan ke pihak penegak hukum," ujar Ivan, Senin (4/7/2022).
Baca Juga: Presiden ACT Minta Maaf, DPR Minta Dugaan Penyelewengan Dana Diusut Tuntas
Adapun pemotongan 13,7 persen diungkapkan Presiden ACT Ibnu Khajar untuk keperluan operasional.
"Kenapa ACT 13,7 persen? Lebih karena ACT bukan lembaga zakat, ada donasi-donasi umum masyarakat, ada CSR, ada zakat juga," ujar Ibnu dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, Senin (4/7/2022).
Menurut Ibnu, lembaganya membutuhkan dana distribusi yang cukup besar karena memiliki banyak cabang di berbagai negara.
"ACT butuh dana distribusi dari dana lebih (banyak) karena banyaknya cabang dan negara, diambil dari dana nonzakat," ujarnya.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV