ACT Akui Potong Donasi 13,7 Persen, Pengamat Hukum Pidana: Ini Namanya Penggelapan Dana Umat
Hukum | 6 Juli 2022, 04:25 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Potongan 13,7 persen dari donasi yang terkumpul untuk keperluan operasional yang dilakukan Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) dinilai dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penggelapan.
Pengamat Hukum Pidana Asep Iwan Iriawan menjelaskan pemimpi ACT sangat jelas menyatakan lembaga kemanusiaan tersebut mengumpulkan dana umat yang sifatnya amal sedekah.
Untuk itu, pengumpulan dana yang bersifat amal sedekah tidak boleh dipotong untuk gaji karyawan ataupun buat pemimpin dari lembaga kemanusiaan.
Baca Juga: Pengamat Hukum Pidana: Laporan PPATK soal ACT Bisa Jadi Bukti Permulaan yang Cukup
Menurutnya pemotongan tersebut sama saja ACT telah memotong hak penerima yang dititipkan.
"Mereka inikan suatu organisasi yang menyalurkan dana donasi umat. Kalau donasi umat jangan minta gaji dong, bikin perusahan bisnis," ujar Asep saat dihubungi KOMPAS TV di program SAPA INDONESIA MALAM, Selasa (5/7/2022).
Asep menambahkan pemotongan 13,7 persen dana masyarakat yang dikumpulkan sama saja sebuah tindak pidana penggelapan.
Berbeda jika dikumpulkan adalah zakat yang dalam pengelolaannya terdapat Hak Amil.
Baca Juga: ACT Akui Potong 13,7 Persen Dana untuk Operasional, PPATK: Harusnya Bukan Memotong Dana Donasi
Menurutnya lembaga kemanusiaan tersebut hanya membungkus penggalangan dana dengan ibadah, namun mendapat keuntungan yang lebih dari setiap kegiatan.
Ia mendorong agar aparat hukum melakukan penyelidikan terkait potongan tersebut karena telah dinyatakan secara terang-terangan oleh pemimpin ACT.
Terlebih Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) telah mengungkap adanya dugaan penyelewengan dana masyarakat di ACT.
Baca Juga: Dugaan Penyelewengan Dana Donasi ACT, Pengamat: Bisa Masuk Ranah Pidana!
Laporan PPATK menyebutkan tidak hanya ada indikasi penggunaan dana untuk kepentingan pribadi, tetapi juga adanya aktivitas terlarang yang mengarah kepada dugaan pembiayaan terorisme.
"Perlu dicatat kalau sifatnya amal sedekah tidak boleh untuk gaji. Jelas itu penggelapan, dana itu untuk disalurkan ke mustahiq kok, malah buat pejabat tinggi gaji Rp250 juta," ujar Asep.
"Ini jelas pengelapan dana umat seharusnya disampaikan kepada umat dari para dermawan," tegasnya.
Lebih lanjut Asep menyarankan agar masyarakat dapat menyalurkan dana ke organisasi yang jelas atau langsung ke masjid-masjid setempat.
Baca Juga: BNPT dan Densus 88 Telusuri Data PPATK soal Dugaan Dana ACT Mengalir ke Jaringan Teroris
Menurutnya aksi donasi umat yang dibungkus ibadah ini dapat digunakan untuk kepentingan pribadi, bahkan kepentingan tertentu, seperti pendanaan jaringan terorisme.
"Saya setuju kasih aja ke NU, Muhammadiyah, Persis, Baznas atau masjid terdekat saja lah. Jangan mau dibungkus organisasi agama bermunculan," ujar Asep.
Sebelumnya, Presiden ACT Ibnu Khajar mengakui adanya potongan sebesar 13,7 persen dana donasi untuk keperluan operasional.
"Kenapa ACT 13,7 persen? Lebih karena ACT bukan lembaga zakat, ada donasi-donasi umum masyarakat, ada CSR, ada zakat juga," ujar Ibnu dalam konferensi pers ACT di Jakarta Selatan, Senin (4/7/2022).
Baca Juga: PPATK Paparkan Temuannya untuk Dugaan Pelanggaran Donasi ACT
Menurut Ibnu, lembaganya membutuhkan dana distribusi yang cukup besar karena memiliki banyak cabang di berbagai negara.
"ACT butuh dana distribusi dari dana lebih (banyak) karena banyaknya cabang dan negara, diambil dari dana nonzakat," ujarnya.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Iman-Firdaus
Sumber : Kompas TV