Wamenkumham: Kami Tidak akan Menghapus Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP
Hukum | 28 Juni 2022, 20:02 WIBJAKARTA, KOMPAS TV - Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej mengatakan, pihaknya tak akan menghapus pasal terkait penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Tidak akan kita hapus (pasal penghinaan presiden di RKUHP)," kata pria yang karib disapa Eddy di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (28/6/2022).
Eddy menjelaskan, pasal penghinaan presiden sudah pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji.
Hasilnya, MK menyatakan ditolak.
Baca Juga: Demo di Depan Gedung DPR, Mahasiswa Tuntut Transparansi dalam Pembahasan RKUHP!
"Kita kan tetap mengatur penghinaan terhadap penguasa umum. Pasal itu diuji dan ditolak MK. Kalau ditolak itu artinya bertentangan atau tidak? Kan berarti tidak bertentangan," ujarnya.
Ia mempersilakan kepada sejumlah pihak untuk mengajukan uji materi ke MK bila nanti ada yang tak puas dengan sejumlah pasal dalam RKUHP tersebut.
"Intinya kita begini ya, tidak akan mungkin memuaskan semua pihak. Jadi kalau tidak setuju, ya pintu MK kan terbuka," katanya.
Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menyoroti dua pasal yang dianggap bermasalah pada RKUHP yang tengah dibahas DPR RI dan Pemerintah.
Koordinator Sosial Politik BEM UI, Melki Sedek Huang mengungkapkan, dua pasal yang disorot oleh pihaknya yakni Pasal 273 RKUHP dan Pasal 354 RKUHP.
Melki menuturkan, dua pasal tersebut diketahui luput dari pembahasan saat rapat terakhir antara DPR dan pemerintah.
Diketahui, pada Pasal 273 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara.
Artinya, kata Melki, pasal tersebut menyiratkan bahwa masyarakat perlu izin dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum agar terhindar dari ancaman pidana.
Menurut Melki, hal itu dinilai bertolak belakang dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang hanya mewajibkan pemberitahuan atas kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.
"Tak hanya itu, Pasal 273 RKUHP pun memuat unsur karet tanpa batasan konkret, yakni 'kepentingan umum', yang rentan disalahgunakan untuk mengekang kebebasan masyarakat dalam menyampaikan pendapat di muka umum," kata Melki dikutip dari Kompas.com pada Selasa (21/6/2022).
Baca Juga: Dinilai Ancam Kebebasan Pers, AJI Minta Pemerintah Hapus 14 Pasal Draf RKUHP, Apa Saja?
Sementara itu, Pasal 354 RKUHP memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang yang melakukan penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara melalui sarana teknologi informasi.
Penulis : Fadel Prayoga Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV