Jubir MK: Putusan MK Tak Meminta Anwar Usman Turun dari Kursi Ketua
Hukum | 22 Juni 2022, 22:33 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Juru bicara (Jubir) Mahkamah Konstitusi (MK) Fajar Laksono menegaskan, keputusan hakim MK yang mengabulkan sebagian gugatan atas Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK tidak meminta Ketua MK Anwar Usman dan Wakil Ketua MK Aswanto untuk mundur.
"Putusan MK ini sama sekali tidak meminta mundur atau meminta (Ketua dan Wakil Ketua MK -red) turun dari jabatannya," kata Fajar dilansir dari tayangan Kompas TV, Rabu (22/6/2022).
Fajar menjelaskan, abatan Ketua dan Wakil Ketua MK saat ini tetap sah hingga pemilihan jabatan berikutnya.
"Ketua dan Wakil Ketua MK yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya ketua dan wakil ketua sebagaimana Pasal 24c UUD 1945," jelasnya.
Di sisi lain, MK memberlakukan Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK yang menyatakan hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU ini diundangkan, dianggap memenuhi syarat menurut UU tersebut, dan mengakhiri masa tugasnya tidak lebih dari 15 tahun.
Terkait perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang mulanya lima tahun dan sekarang menjadi 15 tahun tersebut, Fajar mengatakan perlu tindakan hukum untuk melakukan konfirmasi kepada lembaga-lembaga yang mengusulkan hakim konstitusi.
"Konfirmasi ini untuk memastikan apakah lembaga pengusul itu memang memperpanjang hakim konstitusi yang duduk sekarang atau diajukan," terangnya.
Baca Juga: MK Kabulkan Sebagian Gugatan, Anwar Usman Harus Mundur dari Kursi Ketua
Di sisi lain, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi menimbulkan pertanyaan terkait kenegarawanan dari sembilan hakim konstitusi.
Menurutnya, putusan MK tesebut mengamini keraguan masyarakat sipil terhadap hakim MK yang menjabat terlalu lama.
"Putusan itu sebenarnya melegitimasi apa yang dipertanyakan oleh masyarakat sipil tentang hakim MK yang duduk di situ terlalu lama tanpa adanya pengecekan di tengah jalan," ungkap Bivitri dalam Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, Rabu (22/6).
Selain itu, ia menilai putusan MK tersebut memunculkan pertanyaan atas kenegarawanan para hakim konstitusi dan rawan konflik kepentingan.
"Yang perlu dipertanyakan yaitu kenegarawanan dari sembilan hakim MK untuk bisa memahami bahwa perkara ini sesungguhnya punya konflik kepentingan yang luar biasa," imbuhnya.
Sebelumnya, MK memutuskan Pasal 87 huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
“Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian; Menyatakan Pasal 87 huruf a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 216, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6554) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” kata Ketua MK Anwar Usman, Senin (20/6/2022).
Mengutip rilis pers resmi MK, Pasal 87 huruf a UU Nomor 7 Tahun 2020 tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Agar tidak menimbulkan dampak administratif atas putusan a quo, maka Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang saat ini menjabat dinyatakan tetap sah sampai dengan dipilihnya Ketua dan Wakil Ketua sebagaimana amanat Pasal 24C ayat (4) UUD 1945.
“Oleh karena itu, dalam waktu paling lama sembilan bulan sejak putusan ini diucapkan, harus dilakukan pemilihan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi,” tegas Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.
Penulis : Nadia Intan Fajarlie Editor : Gading-Persada
Sumber : Kompas TV