Ketika Perjalanan Jakarta-Puncak Ditempuh Enam Hari
Peristiwa | 7 Mei 2022, 15:00 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Kawasan Puncak di Bogor, Jawa Barat, menjadi kawasan favorit masyarakat Jakarta untuk liburan, termasuk libur Lebaran seperti saat ini.
Tidak heran, bila kawasan yang terkenal berhawa sejuk ini selalu macet hingga berjam-jam dan membuat para pelancong kesal.
Namun, sekelumit kisah perjalanan di masa lalu dari Jakarta ke Cipanas (Puncak), yang ditulis oleh orang Belanda pada abad ke-18, memberi gambaran betapa berat dan lamanya waktu tempuh kala itu.
Dikutip dari Majalah Intisari terbitan Maret 1976, diceritakan tentang Joannes Hofhout, seorang pasien yang dibawa dari Batavia (Jakarta) ke Cipanas pada tahun 1759. Kala itu, ada 30 pasien yang harus dipindahkan.
Perjalanan dimulai pada tanggal 12 Mei malam. Para pasien mula-mula diangkut dengan perahu dari rumah sakit ke lapangan dekat banteng di Jakarta, dimana telah menunggu sejumlah pedati yang masing-masing ditarik dua ekor sapi.
Baca Juga: Antrean Panjang di Exit Gerbang Tol Ciawi, Wisatawan Tunggu Jalur Puncak Dibuka!
Satu pedati mengangkut dua pasien yang dialasi jerami dan atap pelindung. Meski begitu, perjalanan jauh dari kata nyaman sebab goncangan pedati yang rodanya terbuat dari kayu sangat menyiksa.
Saat fajar menyingsing, rombongan pasien berhenti untuk beristirahat. Houfhot dan rekan-rekannya menyuruh tukang pedati memasak kopi dengan api kayu. Sesudah itu mereka baru tidur nyenyak di reremputan.
Pimpinan rombongan seorang dokter pembantu dari rumah sakit Cipanas. Dia selalu mendahului rombongan agar bisa mempersiapkan segala kebutuhan saat beristirahat di pesanggrahan atau rumah kepala desa.
Sore hari perjalanan atau hari kedua, dilanjutkan hingga hari gelap. Namun sapi-sapi sudah tidak mau melanjutkan perjalanan. Baru pada pagi hari perjalanan dilanjutkan hingga tiba di satu Kampung Baru (Bogor).
Di Bogor para pasien dan rombongan ditampung di rumah kepala desa, disuguhi nasi, sop kambing, dan sayuran. Mereka makan dengan lahap kecuali dua orang yang kondisinya sakit parah.
Pada hari ketiga, pagi hari mereka kembali melanjutkan perjalanan, hingga tiba di daerah pegunungan (mungkin dekat Cisarua).
Malamnya, seorang pasien meninggal dunia. Karena kondisi darurat pasien pun dikubur di hutan.
Di tempat ini rombongan beristirahat selama dua hari untuk menyimpan tenaga, sebab perjalanan selanjutnya harus mendaki pegunungan yang berat.
Setelah cukup istirahat, pada hari kelima rombongan meneruskan perjalanan. Kali ini mereka tidak menggunakan pedati.
Para pasien diletakkan di punggung sapi, dengan diikatkan pada leher dan ekornya agar pasien dapat berpegangan erat selam perjalanan berat.
Karena medan yang berat, hutan lebat dan pegunungan, rombongan pun tersesat di hutan kawasan Puncak.
Namun setelah melalui perjalanan yang melelahkan, akhirnya rombongan tiba di sebuah kampung yang berada di kawasan Cipanas. Tapi hari sudah larut, mereka hanya bisa merebahkan badan dan makan ala kadarnya.
Pada hari keenam, barulah rombongan pasien di bawa ke rumah sakit di Cipanas dalam kondisi semua sudah kelelahan. Nyaris satu pekan mereka di perjalanan melalui sungai tanpa jembatan, hutan, dan gunung.
Baca Juga: Libur Nyepi, Kawasan Puncak Bogor Macet dari Keluar Tol CIawi Akibat Sistem Satu Arah
Beratnya perjalanan Jakarta-Puncak, pernah dialami Marsekal Dandels ketika dia berencana melakukan perjalanan Batavia-Bogor pada 1808.
Kala itu, para bawahannya menjelaskan bahwa perjalanan tak mungkin dilakukan pada "musim buruk".
Sebagai gambaran, jembatan-jembatan penghubung hanya ada di kota (Batavia). Jika ada pejabat Batavia hendak ke Bogor, maka dibuatlah jembatan dari bambu, yang tak boleh dilalui pedati.
Bahkan hingga pendudukan Inggris, jembatan belum penghubun antar desa masih belum ada di Bogor.
Demikianlah sekelumit sejarah perjalanan Jakarta-Puncak atau Bogor di masa lalu yang sangat melelahkan.
Penulis : Iman Firdaus Editor : Fadhilah
Sumber : Kompas TV