> >

Serba-serbi Rencana Tarif Akses NIK Rp1.000, Mulai dari Alasan hingga Siapa Saja yang Mesti Bayar

Indonesia update | 16 April 2022, 08:54 WIB
Ilustrasi kartu tanda penduduk elektonik (e-KTP) dengan nomor induk kependudukan (NIK) di dalamnya. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana menerapkan tarif akses NIK sebesar Rp1.000. (Sumber: Dirjen Dukcapil Kemendagri)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Belakangan ini, rencana Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menerapkan tarif akses nomor induk kependudukan (NIK) tengah menjadi perhatian publik.

Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) Kemendagri Zudan Arif Fakrullah pun telah mengonfirmasi, tarif yang bakal diberlakukan yakni sebesar Rp1.000 untuk sekali akses.

Kendati nominalnya terbilang tak seberapa, namun rencana pemberlakuan tarif akses NIK itu tetap menuai kritikan dari masyarakat.

Oleh karena itu, untuk lebih memahami wacana tersebut, mari simak informasi berikut mengenai serba-serbi tarif akses NIK sebesar Rp1.000.

Baca Juga: Setiap Akses NIK akan Dipungut Tarif Rp1.000, Ini Penjelasannya

1. Alasan pemberlakuan tarif akses NIK Rp1.000

Zudan menjelaskan, selama ini akses pelayanan administrasi kependudukan (adminduk) oleh Ditjen Dukcapil Kemendagri telah terfasilitasi secara gratis melalui SIAK Terpusat.

Dengan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pemerintah menanggung semua biaya operasional layanan tersebut sehingga dapat menghasilkan 24 dokumen dan database kependudukan.

Namun, kini perangkat penunjang database tersebut sudah berumur 10 tahun dan tak lagi memadai kebutuhan dari 4.962 lembaga pengguna atau user yang menjadi mitra Ditjen Dukcapil Kemendagri.

"Selain itu, sudah habis masa garansi. Spare part perangkat itu pun sudah tidak diproduksi lagi (end off support atau end off life)," terang Zudan, dilansir Kompas.com, Sabtu (16/4/2022).

Baca Juga: Ini Cara Cek NIK di BPJSTKU, Lihat Apakah Anda Masuk dalam Tambahan Penerima BSU

2. Menjadi bagian dalam proses menyukseskan Pemilu 2024

Melihat kondisi tersebut, Zudan pun menilai, sudah saatnya perangkat lawas itu mendapat peremajaan atau bahkan penambahan jumlah.

Mengingat, keberadaan database kependudukan beserta perangkat penunjangnya akan sangat berguna dalam persiapan Pemilu 2024 mendatang.

"Semua ini memerlukan dukungan perangkat keras yang terdiri dari server, storage, dan perangkat pendukung yang memadai," ungkap Zudan.

Tapi, Zudan juga menyadari bahwa peremajaan dan penyediaan perangkat penunjang database kependudukan itu membutuhkan biaya yang tak sedikit.

Baca Juga: Tarif PPN Layanan BCA Juga Ikut Naik 11 Persen, Cek di Sini

3. Tarif akses NIK sudah pernah berlaku sebelumnya

Zudan mengungkapkan, sebetulnya beberapa tahun lalu sempat ada pemberlakuan tarif akses NIK atau data kependudukan, tak seperti selama ini yang digratiskan oleh pemerintah.

"Dari tahun 2013, layanan untuk akses NIK ini gratis. Mulai tahun 2022 akan berbayar bagi industri yang bersifat profit oriented," ujar Zudan.

4. Siapa saja yang harus bayar tarif akses NIK Rp1.000?

Menyambung penjelasan di atas, dapat diketahui bersama bahwa tarif akses NIK sebesar Rp1.000 nantinya hanya berlaku bagi mereka yang membutuhkannya untuk kepentingan komersial.

"Sedangkan untuk pelayanan publik, bantuan sosial, penegakan hukum tetap gratis," tutur Zudan, menegaskan bahwa masyarakat umum tetap bisa mengakses NIK secara cuma-cuma.

Contohnya yakni untuk pelayanan BPJS Kesehatan, pemerintah daerah (pemda), kementerian, lembaga pemerintahan, sekolah, kampus, dan masih banyak lagi.

Baca Juga: Pemkab Temanggung Mulai Perekaman e-KTP untuk Pemilih Pemula, Jumlahnya Mencapai 50 Ribu Orang

Lebih lanjut, Zudan menambahkan, rencana tarif akses NIK itu bakal berlaku setelah regulasi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari layanan pemanfaatan data adminduk disahkan.

Sepengetahunnya, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian pun telah menyetujui Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk PNBP tersebut.

Selain itu, Kemendagri pun tengah berupaya mengajukan dana alternatif ke Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) serta Bank Dunia.

Penulis : Aryo Sumbogo Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : Kompas.com


TERBARU