> >

Kontras Minta Presiden Copot Menteri yang Terus Gulirkan Perpanjangan Jabatan

Politik | 9 April 2022, 22:34 WIB
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). (Sumber: Istimewa)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) meminta Presiden Joko Widodo mencopot menteri yang terus menggulirkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Menurut Kontras, hal ini merupakan langkah konkret yang bisa dilakukan Presiden Jokowi untuk menghentikan isu perpanjangan masa jabatan.

“Hal tersebut bisa dilakukan secara konkret oleh Presiden Joko Widodo dengan mencopot menteri yang terus menggulirkan wacana perpanjangan masa jabatan presiden,” tutur Wakil Koordinator Kontras Rivanlee Anandar, Sabtu (9/4/2022).

Baca Juga: KontraS Surati MA Minta Pemeriksaan kembali Kasus Pembunuhan Laskar FPI

Kontras juga meminta seluruh elite politik terutama dari partai politik harus berhenti menggulirkan wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan.

Rivanlee menyatakan wacana perpanjangan masa jabatan presiden dan penundaan pemilu ini jelas merupakan bentuk kongkalikong politik antar elite.

“Hal tersebut dilakukan secara terstruktur, sebab dilakukan oleh pejabat publik dalam struktur pemerintahan,” ujar Rivanlee.

Baca Juga: Wiranto Ungkap Alasan Wacana Perpanjangan Masa Jabatan Presiden jadi 3 Periode Tak Mungkin Terjadi

Bahkan Kontras juga mencurigai, wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, datang dari sekeliling Istana, dalam hal ini kabinet kerja.

Ini tampak dari semakin terstrukturnya penggalangan suara untuk mendukung wacana tiga periode, misalnya lewat silaturahmi nasional perangkat desa beberapa waktu lalu.

“Selain terstruktur, konsolidasinya pun dilakukan dengan sangat sistematis, sebab terlihat sekali bahwa perencanaannya dan mobilisasi terlihat secara matang,” ungkapnya.

Baca Juga: Fadjroel Rahman Tegaskan Sejak Dulu Jokowi Tolak Perpanjang Masa Jabatan

Dia mengatakan usulan perpanjangan masa jabatan presiden menegaskan wujud ketidaktundukan kepada hukum. Padahal ini sangat berbahaya, sebab negara mengarah pada rezim otoritarian tetapi masih seakan-akan menggunakan cara yang demokratis.

“Begitu sulit untuk mengidentifikasi langkah yang diambil merupakan sebuah penyimpangan, sebab watak otokrasi tersebut telah dilegalisasi oleh sejumlah instrumen hukum nasional,” urainya.

Rivanlee menyatakan demokrasi menghendaki konsep government or rule by the people. Suatu kekuasaan negara harus bersandarkan pada kehendak rakyat terbanyak, sebab rakyatnya yang menetapkan anggota-anggota pemerintahan dan kepada mereka ini dipercayakan penyelenggaraan kepentingan-kepentingan rakyat.

“Rakyatlah yang memiliki otoritas untuk membatasi, mengubah ataupun mencabut mandat kekuasaan,” pungkasnya.

 

Penulis : Vidi Batlolone Editor : Hariyanto-Kurniawan

Sumber : Kompas TV


TERBARU