> >

Mengapa Perempuan Sering Menjadi Korban Kejahatan?

Sosial | 22 Maret 2022, 12:42 WIB
Pernahkah kalian bertanya-tanya, kenapa kebanyakan korban kejahatan dan kekerasan itu perempuan? (Sumber: Medio by KG Media)

JAKARTA, KOMPAS.TV — Setiap tahunnya, kasus kejahatan semakin meningkat. Korban-korbannya pun beragam. Namun, pernahkah kalian bertanya-tanya, kenapa kebanyakan korban kejahatan dan kekerasan itu dari kalangan perempuan?

Menurut CATAHU 2021 Komnas Perempuan, ada 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020.

Bahkan, ditemukan pula kasus yang memiliki pola baru dan cukup ekstrim, seperti perkawinan anak dan kekerasan berbasis gender secara daring.

Perempuan sering kali menjadi sasaran empuk tindak kejahatan karena mereka dipandang sebagai sosok kelas dua. Stigma lemah dan tak berdaya menjadi alasan utama pelaku menyasar mereka, terlebih apabila posisinya jauh lebih tinggi.

Salah satu pembunuh berantai yang menyasar perempuan sebagai korban adalah David Carpenter. Dalam siniar Tinggal Nama bertajuk 'si Putri Tidur yang Meregang Nyawa P2' dengan tautan akses https://dik.si/tn_tamalpaispt2, dikisahkan bahwa ia melakukan aksinya di salah satu tempat pendakian terkenal di California, Amerika Serikat.

Minimnya Pengetahuan Masyarakat

Di Indonesia, khususnya wilayah-wilayah yang sulit dijangkau, masih banyak masyarakat yang belum paham soal makna kesetaraan. Bahkan, perempuannya juga.

Baca Juga: Kontras Minta Bareskrim Polri Tarik Penyidikan Kekerasan Kerangkeng Manusia dari Polda Sumut

Hal ini disebabkan oleh budaya yang sudah mengakar dan mereka jadikan pedoman. Apabila tak sesuai, mereka biasanya dikucilkan oleh masyarakat sekitar.

Misalnya saja perempuan di Serang, Banten, yang memiliki mitos seret jodoh kalau perempuan menolak lamaran sebanyak tiga kali. Mitos-mitos itu kemudian dipercaya turun-temurun hingga memengaruhi pemikiran masyarakat.

Selain itu, akses pendidikan untuk mereka serba terbatas. Masih banyak masyarakat yang tak memiliki internet dan perpustakaan. Hal ini menyebabkan mitos-mitos yang merugikan perempuan terus dilanggengkan.

Perempuan yang menjadi korban kekerasan di daerah pedalaman pun semakin banyak. Melalui mitos itu, laki-laki dianggap memiliki kuasa lebih untuk menentukan jalan hidup seorang perempuan.

Maraknya Stigma Perempuan itu Lemah

Perempuan juga sering dinomorduakan oleh laki-laki. Pekerjaan perempuan yang lebih banyak dilakukan dalam ranah domestik membuat mereka sering diremehkan. Sementara laki-laki identik dengan pekerjaan berat.

Alhasil, mayoritas perempuan dianggap lemah karena adanya ketimpangan gender. Ketimpangan ini membuat perempuan berada dalam posisi harus tunduk dan taat pada laki-laki.

Saat menjadi korban kekerasan seksual, perempuan sering diancam oleh pelaku laki-laki, misalnya akan menyebarkan rekamannya ke internet.

Ancaman itu membuat mereka takut karena adanya jejak digital dan keberpihakan publik pada laki-laki.

Para korban justru sering kali disalahkan balik saat melapor ke instansi. Mereka menyalahkan perempuan karena tak hati-hati dan memancing untuk dijahati.

Selain itu, tak adanya kepastian hukum soal isu ini, membuat posisi perempuan semakin lemah.

Adanya Relasi Kuasa

Relasi kuasa berarti ketimpangan dalam posisi. Misalnya, suami dan istri atau atasan dan karyawan. Relasi kuasa merupakan penyebab umum dari langgengnya praktik kekerasan.

Baca Juga: Menteri PPPA Desak Polisi Segera Tangkap Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Bayi 15 Bulan

Kekuasaan membuat orang yang berada di posisi atas memiliki kekuatan. Oleh karena itu, sering kali kedudukan perempuan di masyarakat memiliki status lebih rendah dari laki-laki.

Status yang lebih rendah ini membuat perempuan rentan terkena berbagai macam kekerasan.

Untuk mencegahnya, diperlukan relasi yang sehat. Batasi interaksi atasan dan karyawan hanya dalam hal-hal profesional.

Jangan sampai atasan menyalahgunakan kewenangan posisinya untuk berbuat sesukanya.

Masyarakat juga harus paham bahwa semakin mereka mengagungkan laki-laki, makin tinggi dominasi mereka. Dan, jangan sampai menutup mata ketika terjadi kekerasan. Bantulah korban karena kekerasan dalam bentuk apa pun tak pernah dibenarkan.

Dengarkan kisah-kisah kriminal para pemburu berantai lainnya dalam balutan audio drama melalui siniar Tinggal Nama. Ikuti siniarnya agar kalian tak ketinggalan setiap episode terbarunya.

*Penulis: Alifia Putri Yudanti & Ikko Anata

Penulis : Nurul Fitriana Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU