Pengamat Nilai Hukuman Edhy Prabowo Seharusnya Ditambah dengan Merujuk Pasal 52 KUHP
Hukum | 10 Maret 2022, 22:19 WIBJAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat Hukum Pidana Universitas Parahyangan, Asep Iwan Iriawan menyayangkan putusan kasasi majelis hakim Mahkamah Agung yang mengurangi hukuman terdakwa Edhi Prabowo.
Menurut Asep, majelis hakim bisa menambah masa hukum dengan mempertimbangkan Pasal 52 KUHP.
Dalam pasal tersebut sangat jelas menyatakan bahwa pejabat melakukan perbuatan pidana dalam jabatannya hukuman pidananya dapat ditambah sepertiga.
Baca Juga: Tanggapi Keringanan Vonis Edhy Prabowo, Pengamat Hukum: Secara Penerapan Hukum Itu Tidak Benar!
Asep berharap, hakim MA serius menangani perkara korupsi, seperti yang dilakukan almarhum Artidjo Alkostar terhadap para terdakwa tindak pidana korupsi yakni Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, Anas Urbaningrum serta Atut Chosiyah.
"Saya berharap hakim-hakim lain dalam perkara korupsi ditangani dengan serius dan luar biasa. Kita rindu Artidjo Alkostar Adi Andojo, hakim agung ini terhadap perkara korupsi melakukan upaya serius dan luar biasa," ujar Asep saat dihubungi di program Kompas Petang KOMPAS TV, Kamis (10/3/2022).
Asep juga menilai alasan hakim MA dalam putusan kasasi Edhy Prabowo tidak logis.
Ia heran hakim merujuk kinerja dan kebijakan terdakwa saat menjabat sebagai menteri Kelautan dan Perikanan sebagai sebuah pertimbangan dalam mengurangi hukuman.
Padahal ranah hakim MA bukan menilai kebijakan, tapi mengadili perbuatan korupsi yang dilakukan terdakwa.
Baca Juga: MA Potong Hukuman Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun Penjara, Alasan Mensejahterakan Masyarakat Lewat Lobster
Walaupun kebijakan yang telah dilakukan terdakwa, memberi harapan besar kepada masyarakat, khususnya nelayan.
Menurut Asep, bukan ranah hakim menilai menteri itu baik, dan juga bukan kewenangan hakim yang memprediksi kebijakan dikeluarkan terdakwa baik untuk nelayan.
Ia menilai pertimbangan hakim MA dalam memutus kasasi Edhy Prabowo jauh dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 24A UUD 1945 dan Pasal 253 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Baca Juga: Reaksi KPK Setelah MA Sunat Vonis Edhy Prabowo Jadi 5 Tahun Penjara
"Sejak kapan hakim menilai perbuatan dan kebijakan menteri. Yang menilai menteri baik itu bukan kompetensi hakim. Yang menilai menteri itu presiden, hakim hanya menilai perbuatan salah benar atau memenuhi unsur atau tidak," ujar Asep
"Kalau hakim menilai kebijakan publik, saya enggak tahu dari mana," imbuhnya.
Sebelumnya majelis hakim kasasi MA yang diketuai ketua majelis Sofyan Sitompul dengan anggota majelis kasasi Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani memotong masa hukuman Edhy Prabowo dari 9 tahun menjadi 5 tahun.
Selain itu MA juga mengurangi pencabutan hak politik Edhy menjadi 2 tahun.
Sebelumnya di tingkat pertama majelis hakim memutuskan mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun.
Baca Juga: ICW Kritik Putusan MA Pangkas Hukuman Edhy Prabowo: Benar-benar Absurd
Namun pidana tambahan berupa uang senilai Rp9,68 miliar dan 77 ribu dollar Amerika kepada terdakwa suap izin ekspor benih lobster itu tidak dihilangkan oleh MA.
Adapun pertimbangan MA dalam putusan kasasi Edhy Prabowo yakni Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak mempertimbangkan terdakwa telah bekerja baik selama menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menurut majelis hakim kasasi, Edhy telah memberi harapan besar kepada masyarakat khususnya nelayan dengan mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020.
Dalam Permen KKP Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tersebut eksportir disyaratkan untuk memperoleh Benih Bening Lobster (BBL) dari nelayan kecil penangkap BBL.
Baca Juga: Eks Pegawai KPK Gugat Jokowi, Pimpinan KPK, dan Kepala BKN ke PTUN: Kami Harap Permohonan Diterima
Sehingga jelas perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat, khususnya nelayan kecil.
Edhy Prabowo divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi menerima suap sebesar 77 ribu dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp1,12 miliar dan Rp24,62 miliar terkait proses persetujuan pemberian izin budi daya lobster dan izin ekspor Benih Bening Lobster (BBL) kepada para eksportir.
Di tingkat pertama Edhy dijatuhi vonis 5 tahun penjara dan denda senilai Rp400 juta subsider
6 bulan kurungan.
Politisi Partai Gerindra ini juga dijatuhi pidana pengganti senilai Rp9,68 miliar dan 77 ribu dollar Amerika.
Baca Juga: Berhasil Lakukan Inovasi Budi Daya Lobster, KKP Diminta Segera Sosialisasi ke Pembudidaya
Di tingkat banding, hukuman Edhy diperberat majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta menjadi 9 tahun penjara.
Majelis hakim PT Jakarta juga mencabut hak politik Edhy selama 3 tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani masa pidana pokok atau hukuman 9 tahun penjara.
Penulis : Johannes Mangihot Editor : Deni-Muliya
Sumber : Kompas TV