> >

Harapan Masuk Endemi dan Bayang-bayang Varian Baru Covid-19

Kesehatan | 2 Maret 2022, 06:05 WIB
Ilustrasi. Presiden Jokowi ketika menjadi penerima vaksin Covid-19 di Indonesia pada 13 Januari 2021. Setelah dua tahun pandemi, Indonesia mewacanakan transisi ke endemi, bagaimana persiapannya? (Sumber: ISTANA PRESIDEN/AGUS SUPARTO)

Akan tetapi, tren yang cenderung tidak tetap antarnegara-negara membuat dampak pasti Omicron tidak bisa disimpulkan.

Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan sendiri menyaksikan dampak parah di tengah gelombang Omicron. 

AS mencatatkan tingkat rawat inap yang tetap tinggi selama Omicron. Sedangkan Korea Selatan justru mencatatkan angka kematian harian tertinggi selama gelombang Omicron, yakni 112 kematian pada 26 Februari lalu.

Mengenai data wabah yang berbeda-beda tiap negara, Nadia menyebut pihaknya berfokus pada data dalam negeri, yang mana sejauh ini gelombang Omicron masih bisa dikendalikan dengan tingkat keterisian tempat tidur RS di bawah 60%, yakni 37,69% per 26 Februari.

Baca Juga: Serupa tapi Tak Sama! Mengenal 3 Perbedaan Pusing Biasa dan Sakit Kepala akibat Covid-19 Omicron

Data wabah pada gelombang ketiga sendiri disebut cukup positif untuk menyiapkan transisi pandemi ke endemi. “Kondisi peningkatan kasus banyak, tetapi jumlah kematian dan BOR (tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit) terkendali,” kata Nadia.

"Kita tidak usah melihat data (negara) lain, kita melihat data kita sendiri,” ujarnya.

Jaga prokes di tengah kampanye vaksinasi

Pemerintah menyebut vaksinasi merupakan salah satu pendorong utama untuk mempercepat transisi ke endemi. Nadia mengungkapkan, target pemerintah sebelum memulai transisi adalah memvaksinasi 70% populasi.

Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan rampung memvaksinasi 70% populasi pada Juni 2022 mendatang.

Selain itu, pemberian vaksinasi booster khususnya ke populasi lansia juga dipercepat. Per 22 Februari lalu, Kementerian Kesehatan memutuskan pemberian dosis booster untuk lansia bisa dilakukan 3 bulan setelah dosis kedua. Sebelumnya, jangka waktunya adalah 6 bulan.

Baca Juga: Pemerintah Tambah Regimen Baru Vaksin Booster, Kini Ada 6 Jenis, Apa Saja?

Kelompok lansia dan orang dengan komorbid (penyakit penyerta) menghadapi risiko tertinggi dari Covid-19. Berdasarkan data yang diambil selama gelombang Omicron sejak 21 Januari hingga 19 Februari, risiko kematian lansia dan komorbid masing-masing 3,84 kali dan 3,53 kali lebih tinggi dibanding pasien non-lansia dan tanpa komorbid.

Nadia sendiri menyebut vaksin booster efektif menurunkan risiko kematian hingga 91%. Sedangkan vaksinasi lengkap menurunkan risiko hingga 67%. Namun, ia tak menampik bahwa penerima vaksin, baik lengkap atau booster, masih berisiko terinfeksi.

Menurutnya, penerima vaksin lengkap mendapatkan perlindungan 70% dari infeksi Covid-19. Sedangkan vaksin booster diperkirakan lebih tinggi.

Data risiko Covid-19 terhadap kelompok lansia, komorbid, dan penerima vaksin yang diambil pada 21 Januari hingga 19 Februari 2022. (Sumber: Kementerian Kesehatan via Siti Nadia Tarmizi)

Masih ada peluang terinfeksi, tetapi imunitas vaksin efektif mencegah gejala berat, kebanyakan kasus positif menunjukkan gejala ringan atau tanpa gejala.

Saat ini, menurut Nadia, terdapat 189.714 pasien Covid-19 yang dirawat inap. Sebanyak 33.425 belum divaksin, 25.640 baru satu dosis, sedangkan lainnya sudah divaksin lengkap.

Nadia menyampaikan, adanya penerima vaksin kedua atau booster yang dirawat inap dikarenakan komorbidnya tidak terkontrol.

"Cakupan vaksinasi tinggi akan mengendalikan laju penularan, dan adanya kekebalan kelompok, itu semua secara simultan, ya,” kata Nadia.

Baca Juga: Pemerintah Targetkan Vaksin Booster Lansia Tuntas Sebelum Ramadhan

Di lain sisi, kebijakan pembatasan dan protokol kesehatan masih harus diberlakukan menjelang transisi ke endemi. 

Miko menyebut tidak cukup kampanye vaksinasi saja untuk mengendalikan wabah. “Imunisasi itu salah satu strategi, semua baik itu protokol kesehatan, vaksinasi, dan komunikasi tetap harus dilakukan,” katanya.

Nadia menegaskan, di samping menggencarkan vaksinasi, pihaknya akan memonitor laju penularan dan indikator-indikator yang ditunjukkan dalam level PPKM selama enam bulan. 

"Yang pertama adalah mengendalikan dulu, ya. Artinya bagaimanan nanti itu laju penularan (reproductive number) terus-menerus di bawah angka 1 selama enam bulan. Kemudian indikator-indikator seperti fatalitas itu kita perhatikan, lalu secara nasional dan di provinsi-provinsi PPKM tetap level 1 minimal selama enam bulan. Itu artinya pandemi ini terkendali,” katanya.

Covid-19 tidak akan lenyap, varian baru terus bermunculan

Para ahli bersepakat bahwa Covid-19 tidak akan bisa dilenyapkan dari dunia dalam waktu dekat ini. Namun, status endemi menandakan bahwa penyakit bisa dikendalikan, dan berpeluang merebak dalam wilayah atau musim tertentu, seperti flu biasa atau demam berdarah.

Baca Juga: WHO: Omicron Subvarian BA.2 Tidak Lebih Parah dari BA.1, tapi Bisa Infeksi Manusia 2 Kali

Selain itu, varian baru Covid-19 diprediksi akan terus bermunculan. Mutasi sendiri adalah cara alami virus bertahan hidup.

Kendati populasi memiliki imunitas dan kampanye vaksinasi dilakukan, Miko menyebut varian baru tetap akan bermunculan. Jika bicara mengenai transisi Covid-19 ke endemi, ia menegaskan varian baru wajib diperhatikan. “Harus dilihati itu perkembangan varian-varian (Covid-19),” kata Miko.

Mengenai mutasi Covid-19, Nadia menyebut deteksi kasus dan surveilans harus dilakukan untuk memonitor varian baru. Selain itu, cakupan vaksinasi yang tinggi juga diperlukan.

Kendati Covid-19 akan terus bermutasi, Nadia menyebut sebagian besar tidak perlu dikhawatirkan. Menurutnya, hanya sekitar 3-5% dari varian baru virus yang bisa berdampak signifikan.

Baca Juga: Kapan Boleh Terima Vaksin Booster Setelah Positif Covid-19?

Penulis : Ikhsan Abdul Hakim Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Kompas TV


TERBARU